Jakarta (pilar.id) – Pengamat ekonomi dari Universitas Surakarta (UNSA) Agus Trihatmoko menilai, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) secara substansial dapat dinilai tepat.
“Tetapi dengan catatan bahwa situasi perekonomian normal dan progresif,” kata Agus melalui pesan singkat, Sabtu (12/2/2022).
Maksudnya, lanjut Agus, jaminan sosial akan digunakan untuk memproteksi kesejahteraan masyarakat di sektor formal pada saat mereka dipandang sudah tidak produktif secara penghasilan. Dengan demikian, pekerja di sektor informal memiliki harapan, rasa aman dan sejahtera bagi keluarganya di masa-masa yang akan datang.
Kendati begitu, masalah yang perlu dipertimbangkan saat ini adalah situasi kehidupan sosial, khususnya masyarakat kelas marginal.
Karena para karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mayoritas kelas bawah, sedangkan jika untuk kembali bekerja tidak mudah karena situasi pandemi saat ini membuat beberapa perusahaan masih belum agresif melakukan ekspansi. Bisa dibilang, secara relatif masih wait and see pada kebanyakan industri.
“Dalam konteks tersebut, jelas bagi mereka yang memiliki kepentingan akan berusaha mendapatkan atau melakukan pencairan dana pensiunnya,” kata dia.
Apalagi, dapat diperkirakan bagi mereka yang usianya di atas 40 tahun akan sulit untuk kembali mendapatkan pekerjaan. Kelompok ini biasanya terjadi pada karyawan dengan level bawah atau operasional, bukan level manajer ke atas.
Artinya, terdapat kebutuhan mendesak bagi mereka untuk mendapat dana pensiunnya. Selain untuk menyambung hidup, kemungkinan positif dijadikan modal yaitu merintis usaha kecil-kecilan.
Terlepas dari kepentingan atau alasan pribadi mereka masyarakat kelas bawan, pada intinya pembatasan usia tersebut patut dicermati lagi oleh pemerintah. Secara manajemen keuangan, BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya tidak perlu membatasi usia pencairan dana. Karena kapanpun pencairan dikakuan, itu sudah menjadi hak nasabah atau anggota BPJS Ketenagakerjaan.
“Lembaga BPJS yang harus menjamin apabila sewaktu-waktu ada klaim dari nasabah,” tegasnya.
Mempertimbangkan pandangan tersebut, Agus menegaskan, ada baiknya pembatasan usia dipertimbangkan karena dipandang kurang adil. Pasalnya, ini menyangkut kehidupan dan kebutuhan masyarakat marginal.
Oleh karena itu, akan lebih bijaksana pemerintah masih menggunakan aturan lama. Terlebih saat ini masih dalam kondisi ketidakpastian dan Indonesia sedang diselimuti gelombang ketiga pandemi covid-19.
Adapun, jika Permenaker 2/2022 tetap diberlakukan, maka dari perspektif ekonomi makro berimplikasi terhadap daya beli, terutama bagi mereka yang masih belum mendapatkan pekerjaan baru setelah di-PHK. Secara agregat, dapat diperkirakan dengan perhitungan berapa banyak kelompok marginal yang masih belum bekerja saat ini.
“Situasi perekonomian harus dilihat pada kepentingan sosial, khususnya keberpihakan pada kelompok bawah. Jika secara matematika keuangan tidak merugikan buruh atau karyawan. Namun demikian secara sosial tentu ada problematika,” ujarnya.
Jadi, pencetus ekonomi murakabi ini kembali menyarankan bahwa batasan usia pencairan dana biarlah diputuskan oleh penerima hak atau pekerja. Sebab, setiap individu memiliki kepentingan ekonomi dan sosial hidup keluarganya berbeda-beda. Ini menyangkut jutaan masyarakat pekerja formal yang patut dipertimbangkan ulang.
Meskipun peraturan sudah ketok palu, tetap masih memiliki peluang untuk dicarikan jalan keluar oleh pemerintah. Jika perlu Presiden Jokowi harus turun tangan, sehingga apa yang sudah berjalan saat ini tidak justru memunculkan polemik baru.
“Perlu diingat juga bahwa kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bukan semata-mata kemauan karyawan dan pengusaha. Tetapi kewajiban yang harus diterapkan di perusahaan atau institusional, sehingga tidak elok atau kurang bijaksana jika ditengah jalan ada regulasi mendadak dengan peraturan baru tersebut,” pungkasnya. (her/hdl)