Jakarta (pilar.id) – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI) Yusri Usman menyarankan, pemerintah sebaiknya melarang PT Pertamina (Persero) berbisnis bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite. Pasalnya, sejak pertalite menggantikan premium sebagai BBM penugasan justru dikelola dengan tidak efisien, membebani rakyat, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Pertamina sekarang ini tidak efisien dari sisi hulu dan hilirnya. Mereka tidak berani jawab ketika saya tanya, lebih murah mana beli minyak dari kilang minyak Singapura atau kilang Pertamina,” kata Yusri, di Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), untuk BBM solar mendapatkan kompensasi sebesar Rp7,450 per liter dan subsidi Rp500 per liter. Pertalite dengan harga jual Rp10.000 per liter, maka biaya kompensasinya Rp3.150 per liter dari sebelumnya Rp5.500 perliter, sedangkan pertamax 92 dengan harga Rp14.500 per liter mendapatkan subsidi dari Pertamina sebesar Rp924 per liter.
“Tapi yang masih menimbulkan tanda tanya besar adalah mengapa Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM sudah lama di meja presiden belum ditandatangani sampai dengan hari ini, sehingga tidak ada payung hukum siapa yang berhak membeli solar subsidi dan pertalite,” ujarnya.
Di sisi lain, Pertamina sendiri sejak Juli hingga September 2022 telah merilis harga keekonomian pertalite yang berkisar antara Rp18.200 hingga Rp18.700 per liter belum termasuk pajak. Ia mempertanyakan, harga keekonomian pertalite yang sangat tinggi tersebut.
“Patut diduga Direksi Pertamina Holding telah memberikan informasi tidak utuh kepada pemerintah, atau sebaliknya pemerintah telah mendapat informasi seutuhnya dari Pertamina, tetapi disampaikan kepada masyarakat tidak seutuhnya, hal ini harus diluruskan,” katanya.
Selain itu, pada 28 April 2020 CERI menemukan bukti bahwa Direksi Pertamina terkesan berbohong kepada presiden dalam rapat terbatas kabinet dengan agenda simulasi harga BBM saat pandemi covid-19. Saat itu, Pertamina tidak menurunkan harga BBM. Padahal, seluruh dunia menurunkan harga BBM di bawah harga normal atau USD20 per barel.
Menurut Yusri, seharusnya Dirjen Migas menurunkan tim audit untuk menelisik item-item dari hulu ke hilir untuk memeriksa kewajaran pembentuk harga atas semua jenis BBM Pertamina, bukan malah menegur badan usaha Vivo yang menjual Revo89 dengan harga murah. Oleh sebab itu, CERI berkesimpulan bahwa patut diduga telah terjadi proses bisnis yang tidak efisien dari hulu ke hilir dari beberapa subholding Pertamina.
Dia juga menyebut adanya komorbid atau penyakit bawaan seperti kontrak LNG, PI Blok Migas di luar negeri. Selain itu, pola tender di ISC dan proyek Sinergi Inkorporasi di PHE bernilai USD 2.16 miliar dari total anggaran USD 5.9 miliar dan proses tender RDMP Pertamina yang membuat Biaya Pokok Produksi mulai hulu hingga hilir bisa menjadi lebih mahal. Apalagi setelah struktur subholding terbentuk tidak menjadi lebih efisien.
“Maka jika Pertamina tidak bisa meringankan beban rakyat dan pemerintah, sebaiknya janganlah berbisnis pertalite, biar diserahkan saja kepada swasta yang bisa memberikan harga termurah tidak membebani rakyat dan APBN,” tegas Yusri.
Pada kesempatan lain, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menyampaikan, revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM harus disegerakan. Menurutnya, di dalam beleid itu belum diatur soal konsumsi pertalite.
“Sehingga (konsumsi) pertalite harus diatur, sehingga itu harus segera direvisi,” kata dia. (ach/hdl)