Yogyakarta (pilar.id) – Presiden Joko Widodo resmi memberlakukan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dari Pertalite, Pertamax, dan Solar. Penyesuaian harga baru ini berlaku sejak Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30 WIB.
BBM Subsidi jenis Pertalite yang awalnya seharga Rp7.650 per liter naik menjadi Rp10 ribu per liter, Solar naik dari dari Rp5.150 menjadi Rp 6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp 12.500 berganti Rp 14.500 per liter.
Dosen Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma’ruf mengatakan bahwa kenaikan harga BBM akan mendorong inflasi sekaligus menjadi pemicu naiknya kebutuhan pokok dan harga kebutuhan umum lainnya.
Lebih lanjut, Ahmad menjelaskan bahwa Inflasi yang bersumber dari domestik akibat naiknya harga BBM di kemudian hari akan turut berdampak pada naiknya biaya transportasi, pajak darat yang juga berdampak pada biaya pergerakan barang.
“Kalau barang dengan biaya produksi tetap, kemudian transportasi atau distribusinya naik maka ke konsumen dia akan naik. Inflasi yang langsung terasa karena kenaikan biaya transportasi. Ada juga yang harga umum naik karena secara psikologis, ketika harga naik maka pendapatan akan berkurang. Nah, ketika pendapatan berkurang maka perlu penyesuaian dengan kenaikan harga,” terang Ahmad.
Disisi yang lain, pada sektor non ekonomi, menurut Ma’ruf imbas dari kenaikan BBM akan sulit untuk dikendalikan, dalam hal ini dapat bergulir menjadi ‘bola liar’ dengan ketidakstabilan pada kondisi sosial, politik, keamanan, hingga kerentanan sosial. Momentum tentu dapat menjadi amunisi untuk melakukan demonstrasi, mulai kelompok buruh, mahasiswa, atau kelompok lain yang sulit dibedakan antara perjuangan untuk menaikkan kesejahteraan rakyat atau politik, misalnya dengan kelompok-kelompok yang sejak awal berada di oposisi.
Ma’ruf menambahkan, selain menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap stabil, pemerintah harus berkomitmen untuk meredistribusi dari subsidi yang sebelumnya masuk dalam subsidi barang untuk beralih dalam subsidi kelompok sasaran. Diperlukan kebijakan yang pararel, baik disisi pendapatan dan belanja dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan negara seperti pajak. Lalu pada sisi belanja, distribusi harus tepat sasaran. Pengurangan subsidi harus disalurkan pada kelompok rentan dengan syarat basis datanya baik, serta mengurangi belanja-belanja pada korporasi besar dan berganti pada produk-produk skala rakyat (UMKM).
“Kalau subsidi kelompok sasaran ini dilakukan dengan efektif, prinsip keadilannya akan terbangun. Sehingga beban masyarakat terdampak tinggi atau kelompok rentan dapat terkurangi karena adanya subsidi. Sementara pada kelompok yang tidak rentan, apalagi kelompok mampu yang akan menanggung beban atas penyesuaian harga,” ungkapnya Sabtu, (2/9/2022). (riz/fat)