Jakarta (pilar.id) – Gejolak ekonomi global yang terus berlanjut menimbulkan ketidakpastian dalam perekonomian dunia. Konflik antara Rusia dan Ukraina, perang dagang semikonduktor antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta krisis energi dunia menjadi faktor yang berpengaruh terhadap ekonomi domestik suatu negara.
Laporan terbaru Bank Dunia dalam edisi Juni 2023, memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju masih akan melambat menjadi 0,7 persen pada tahun 2023, dibandingkan dengan pertumbuhan sebesar 2,6 persen pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan adanya tekanan yang belum reda terhadap ekonomi global.
Pada bulan Juni 2023, The Fed, bank sentral Amerika Serikat, memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 5 persen-5,25 persen. Keputusan ini diambil untuk menghentikan tren kenaikan suku bunga yang telah berlangsung dalam beberapa waktu.
Kenaikan suku bunga tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi yang berlebihan dan menjaga stabilitas ekonomi. Di sisi lain, Tiongkok menghadapi perlambatan ekonomi yang signifikan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 4,5 persen pada kuartal pertama 2023.
Pada bulan April 2023, impor Tiongkok mengalami penurunan tajam sebesar 7,9 persen, sementara ekspor hanya tumbuh 8,5 persen, dibandingkan dengan bulan Maret yang mencapai 14,8 persen.
Eko Listiyanto, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan bahwa tekanan ekonomi yang dialami oleh negara-negara besar di dunia akan berdampak secara global.
“Negara-negara ekonomi raksasa ini, ketika menghadapi masalah, akan mempengaruhi ekonomi global secara keseluruhan, dan diharapkan pertumbuhannya tetap baik. Namun, dalam konteks Tiongkok, kondisinya belum seperti yang diharapkan,” ujarnya saat mengikuti diskusi ekonomi Tumbuh Makna dengan tema ‘Pengaruh Tingkat Suku Bunga AS dan Perlambatan Ekonomi Tiongkok Terhadap Ekonomi Indonesia’ di Jakarta.
Eko menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok diproyeksikan dapat mencapai 6 persen, tetapi berbagai indikator menunjukkan bahwa pertumbuhannya tidak mencapai angka yang memadai.
“Revisi pertumbuhan Tiongkok berada di angka 5,5 persen, namun angka tersebut sebenarnya masih belum maksimal. Untuk negara sebesar Tiongkok, minimal pertumbuhannya harus mencapai angka 7 persen agar dapat pulih sepenuhnya. Hal ini berbeda dengan Indonesia, di mana pertumbuhan sebesar 5 persen sudah cukup. Sementara itu, tingkat inflasi di Amerika Serikat sudah cukup rendah, yaitu sekitar 3 persen. Tinggal menunggu apakah tingkat inflasi tersebut konsisten atau hanya bersifat sementara,” jelasnya.
Meskipun gejolak ekonomi global sedang terjadi, Eko meyakini bahwa fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat. Ia menjelaskan bahwa ekonomi Indonesia terutama didorong oleh faktor domestik, yang memungkinkan pertumbuhannya tetap stabil dan tahan terhadap tekanan dari luar.
“Ekonomi Indonesia bergantung pada faktor domestik. Selama sektor domestik tetap berjalan, kita masih bisa mencapai pertumbuhan sekitar 4,8 persen. Meskipun angka ini tidak sehebat target pemerintah sebesar 5,3 persen, tetapi masih mungkin tercapai jika mempertimbangkan perlambatan yang terjadi dalam ekonomi global,” tambah Eko.
Eko juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam pengeluaran anggaran agar dapat mencapai target penerimaan pajak yang sesuai. Ia juga mendorong pemerintah untuk melakukan belanja pemerintah (government spending) guna memacu pertumbuhan ekonomi. “Saat ini, ekonomi nasional masih relatif stabil. Oleh karena itu, saatnya untuk melakukan belanja pemerintah. Anggaran tersebut harus segera digunakan untuk mendorong sektor riil dan menghasilkan PDB,” paparnya.
Fenny Tjahyadi, Co-Founder Tumbuh Makna, menyatakan bahwa indikator perlambatan ekonomi di Indonesia belum terlihat, meskipun terdapat tekanan global akibat kenaikan suku bunga AS. Salah satu faktor yang menjaga stabilitas ekonomi Indonesia adalah nilai tukar rupiah yang masih stabil dibandingkan dengan mata uang negara lain di dunia.
“Dalam beberapa bulan terakhir, pasar makro di Indonesia cenderung positif. Berdasarkan tanda-tanda ini, kemungkinan perlambatan ekonomi di Indonesia sangat kecil. Hal ini terlihat dari perlambatan inflasi setelah libur hari raya. Bahkan pada bulan Juli, inflasi masuk dalam target Bank Indonesia dengan tingkat 3,52 persen. Sektor transportasi mengalami deflasi sebesar 0,1 persen, sedangkan inflasi sektor makanan dan minuman melambat di bawah 0,5 persen. Ini terjadi karena permintaan sudah normal setelah libur hari raya dan pasokan sudah cukup tinggi. Selain itu, nilai tukar rupiah masih stabil di tengah dampak yang terjadi pada mata uang negara-negara lain,” jelas Fenny.
Fenny juga melihat kemungkinan Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat, yang dianggap kondusif dan menguntungkan bagi para investor untuk memanfaatkan peluang.
“Berdasarkan konsensus di pasar, Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga. Kami memperkirakan penurunannya bisa mencapai 50 hingga 75 basis poin hingga awal 2024. Dengan kemungkinan penurunan suku bunga ini, instrumen pendapatan tetap seperti obligasi akan menjadi lebih menarik. Hal ini tercermin dari jumlah pembelian bersih asing pada bulan Juni yang mencapai Rp80 triliun,” tambahnya.
Dalam sektor pasar saham, Fenny melihat bahwa saat ini terdapat dua sektor yang memiliki potensi bagus, terutama menjelang pemilu 2024, yaitu sektor properti dan telekomunikasi.
“Sektor yang dapat dipertimbangkan adalah sektor yang terpengaruh oleh penurunan suku bunga, seperti properti, atau sektor telekomunikasi yang akan menjadi menarik menjelang pemilu,” analisis Fenny.
Namun, Benny Sufami, Analis dan Perencana Keuangan, mengingatkan para investor agar bersabar dalam melakukan investasi pada tahun 2023. Meskipun ada potensi pasar yang menarik dan menguntungkan, hal tersebut harus dipertimbangkan dengan baik dan tepat. “Investor harus bersabar dan menunggu, karena terdapat potensi yang cukup menarik pada tahun 2023 ini. Tren ini serupa dengan Maret 2020, di mana terjadi pertumbuhan positif yang memungkinkan kita untuk melesat dalam waktu 12 bulan, jika kita mengacu pada awal pandemi,” jelasnya.
Meskipun optimis terhadap data makro pada tahun 2023, Benny menekankan bahwa para investor harus tetap mempertimbangkan profil risiko masing-masing. Ia juga mengajak para investor untuk terus mengembangkan pengetahuan dan pemahaman dalam melakukan investasi.
“Investor perlu memahami profil risiko mereka sendiri agar dapat menghindari kesalahan atau investasi yang tidak sesuai. Dengan menggunakan metode 2L (Legal dan Logis) dalam berinvestasi, serta meningkatkan literasi investasi, investor akan terhindar dari kerugian,” pungkas Benny. (hdl)