Jakarta (pilar.id) – Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengatakan, posisi utang pemerintah per Desember 2022 sebesar Rp 7.733,99 triliun. Jumlah itu setara dengan 39,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Utang tersebut berupa pinjaman senilai Rp887,10 triliun, yang terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp19,67 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 867,43 triliun.
Sedangkan utang berupa surat berharga negara (SBN) sebesar Rp6.846,89 triliun, terdiri dari SBN domestik Rp5.452,36 triliun dan valuta asing Rp1.394,53 triliun.
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengingatkan, pemerintah utang yang terus membengkak akan membebani generasi mendatang. “Bagaimana pun utang yang dalam tenor panjang dalam 20-50 tahun itu kalau kata orang Jawa sing bayar sopo?” kata Anis, di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Anis mengaku sangat prihatin dengan utang pemerintah yang terus meningkat tersebut. Jika utang terus bertambah, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya bisa mengangkat kehidupan masyarakat, jadi terbebani dengan pembiayaan utang yang semakin besar.
Ia juga mengkritisi pemerintah yang selalu mengatakan bahwa utang pemerintah masih aman. Hal itu lantaran Undang Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Pemerintah adalah maksimal 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Selalu itu yang digaungkan pemerintah. Saya melihat bahwa jangan hanya itu yang jadi indikator, tapi bagaimana kemampuan negara membayar utangnya. Kalau utang tambah terus, otomatis membiayai utang kan bertambah setiap tahun, cicilannya bertambah, yang harus dibayar setiap tahun, kan jadi beban APBN tersendiri,” kata Anis.
Senada, Anggota Komisi XI DPR RI Siti Mufattahah mengatakan, posisi utang pemerintah yang terus meningkat akan semakin berat. Di sisi lain, rata-rata waktu jatuh temponya cenderung menurun setiap tahun.
“Beban pembayaran semakin berat, menurut kami seperti itu. Bagaimana DJPPR mengeluarkan rincian berbagai aspek dari utang luar negeri? Memberi indikasi masih besarnya risiko yang dihadapi pada tahun-tahun mendatang,” katanya. (ach/hdl)