Surabaya (pilar.id) – Menyambut pertemuan antar negara dalam G20 yang akan diselenggarakan pada 15 dan 16 November 2022 nanti, salah satu fokus yang akan dibicarakan adalah transisi energi.
Karena alasan ini, Greenpeace Indonesia menyelenggarakan kegiatan tur sepeda bertajuk Chasing The Shadow. Dalam kegiatan tersebut, tim akan bergerak dengan sepeda dari Jakarta-Bandung-Semarang-Surabaya hingga Denpasar.
Adanya kegiatan ini, menurut Hadi Prayitno dari Greenpeace, sebagai perjalanan kesaksian bukti nyata krisis iklim sudah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, yang sebagian dipengaruhi oleh pengadaan Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU) dari pembakaran batu bara.
“Kita adakan kegiatan ini, untuk mengawal pemerintah untuk bisa mengetahui tenaga apa yang dibutuhkan masyarakat pertiap daerah dengan melakukan perjalanan jauh ini,” ujarnya.
Pada acara tersebut, turut mengundang Karnia, selaku partisipasi pesepeda, Sutama Warga Lakardowo yang sampai saat ini masih melawan, dan Harwati, salah satu korban tragedi Lapindo.
Dalam penjelajahannya beberapa kotanya, Karnia menceritakan ada beberapa tempat yang sangat miris, karena terdampak polusi dan limbah dari pabrik disekitar pemukiman tersebut.
“Salah satunya, di Marunda Jakarta Utara, warga banyak mengeluhkan sakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan ada yang harus dicongkel matanya, karena iritasi parah, karena dampak pencemaran polusi batu bara dari PLTU disana,” cerita perempuan yang memulai perjalanan bersepedanya dari Jakarta ini.
Tak hanya itu, pada acara Greenpeace Indonesia yang diselenggarakan di Surabaya selama 2 hari dan bertempat di Vin Autism Gallery, G Walk, Junction TL 6 Jl. Citraland Surabaya No.11ini, juga turut memberikan ruang kepada Sutama, selaku warga Lakardowo, untuk menceritakan keadaan desanya yang terdampak limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Ia menceritakan, jika sekitar 10 tahun ini, warga desa Lakardowo, Mojokerto mengalami dampak dari berdirinya sebuah PT bernama PT. PRIA, seperti tercemarnya air, udara dan tanah yang sudah tidak bisa ditanami kembali karena mengandung limbah B3
“Sekarang warga harus membeli air galon untuk memandikan bayi, masak dan minum, pencemaran ini juga berdampak di ekonomi, sekarang warga harus beli cabai, beras, sebelumnya tidak pernah beli dan sebagian warga mengidap ISPA dan kulit gatal-gatal,” jabarnya.
Hal tersebut juga dirasakan oleh, Harwati warga Lapindo yang sudah 16 tahun harus merelakan desanya dan tempat tinggalnya tenggelam oleh lumpur panas, yang hingga kini belum ada pertanggungjawaban yang dirinya terima, baik dari negara maupun pihak yang mendirikan PT Lapindo Berantas tersebut.
“Saya warga sana, juga tidak tahu kalau PT itu sudah diberi ijin oleh pemerintah untuk mengeksplor gas di daerah dekat pemukiman warga, tiba-tiba saja ada dan terjadi bencana,” akunya
Hingga saat ini, dari kedua warga tersebut, baik Lakardowo dan Lapindo belum menerima pertanggungjawaban dari pihak terkait, meskipun telah berkali-kali mereka mengirimkan gugatan, hingga meminta bantuan kepada presiden. Namun tak kunjung ada perubahan.
“Saya sudah capek menangis, meratap meminta hak saya, bahkan NIK korban lumpur Lapindo sekarang sudah dihilangkan, sudah tidak dianggap warga negara, di negara sendiri, makanya saya berusaha berdiri sendiri, tanpa bantuan negara,” tegasnya.
Mendengar cerita dari para perempuan tangguh dalam melanjutkan hidupnya ditengah kesulitan bertahun-tahun teresebut, membuat Hadi Priyanto mengharapkan pemerintah agar lebih mempertimbangkan kebijakan yang akan dibuat.
“Adanya kegiatan di setiap kota yang kita datangi ini, bertujuan menyadarkan ke masyarakat mengenai iklim ekstrem yang sedang terjadi saat ini,” tutupnya. (jel/hdl)