Jakarta (pilar.id) – Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat morbiditas dan mortalitas akibat Penyakit Jantung Bawaan yang sangat tinggi.
Tingginya tingkat mortalitas atau kematian akibat Penyakit Jantung Bawaan (PJB) tersebut diungkapkan oleh data penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dimana, menurut data WHO, dari 100 bayi yang baru lahir di Indonesia, satu diantaranya mengidap Penyakit Jantung Bawaan. Dimana, 25 persennya, adalah penderita Penyakit Jantung Bawaan Kritis.
Namun, secara nasional, Indonesia belum meiliki data pasti terkait jumlah bayi yang menderita Penyakit Jantung Bawaan. Menurut Ketua Unit Kerja Koordinasi Kardiologi IDAI, dr. Rizky Adriansyah, tidak adanya data pasti terkait PJB di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor.
Namun, apabila merujuk pada data global dari WHO, di Indonesia setiap tahunnya, ada 31 bayi baru lahir yang menderita PJB.
“Maka perkiraan lima juta bayi baru lahir dalam satu tahun, mungkin ada sekitar 45-50 ribu bayi di Indonesia mengalami PJB, dan sekitar 25 persen atau 12.500 itu PJB kritis,” terangnya saat media briefing IDAI secara virtual, Selasa (14/2/2023).
Lebih lanjut, dikatakan Rizky menurut penelitian tahun 2020, sekitar 80 persen kasus PJB kritis terlambat dirujuk ke layanan tersier dan 60 persen kasus PJB kritis meninggal akibat keterlambatan diagnosis.
“PJB ini seperti ibarat fenomena gunung es. Kasus yang tampak seperti PJB bertahan hingga dewasa, PJB meninggal karena terlambat dirujuk dan ditangani, dan PJB kritis meninggal di usia satu tahun pertama,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Rizky kasus yang tidak tampak seperti PJB yang belum tertangani di Rumah Sakit (RS) rujukan, kasus bayi meninggal dengan dugaan PJB kritis selama prenatal juga perlu mendapat perhatian dan kesadaran bersama.
“Dari data SDKI tahun 2017, penyebab kematian kelainan kongenital mulai 0-7 hari itu berada di nomor empat. Tetapi setelah 8-28 hari kejadiannya jadi nomor dua. Penyakit bawaan yang paling sering terjadi adalah PJB,” imbuhnya.
Disinggung penyebabnya, Rizky menjelaskan bahwa pemicu PJB secara pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor risiko pada ibu hamil yang banyak dibahas seperti defisiensi asam folat, hingga konsumsi obat-obatan yang bisa mengakibatkan gangguan pada proses pembentukan organ.
“Karena itu, kami menganjurkan ibu hamil untuk vaksinasi, mengonsumsi makanan bergizi serta suplemen. Kemudian, setelah lahir anak itu juga harus dipantau tumbuh kembangnya melalui pemeriksaan rutin, seperti imunisasi, memeriksa jantung juga sehingga tidak terlambat,” bebernya.
Menyoal angka harapan hidup (AHH), pihaknya menyebut di Indonesia belum ada data akurat. Namun, Rizky mengaku bahwa AHH di Indonesia lebih rendah dari di negara maju yang berada di 80-90 persen.
“Karena banyak faktor seperti fasilitas sarana dan prasarana, rujukan, kemampuan dokter untuk menegakkan diagnosis, kemampuan masyarakat untuk menyadari gejala awalnya, jadi itu saling terkait yang mengakibatkan angka harapan hidup anak PJB rendah,” tandasnya. (riz/fat)