Badung (pilar.id) – Indonesia setiap tahunnya memproduksi lebih dari 26 juta ton sampah. Dari total tersebut 17 juta ton diantaranya, atau sekitar 64,77 persen telah berhasil dikelola oleh masing-masing pemerintah daerah.
Jumlah tersebut merupakan sampah yang ada di Indonesia pada tahun 2021 dari data yang dihimpun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Direktorat Penanganan Sampah.
Sedangkan sisanya sebesar 9,2 Juta ton sampah atau sekitar 35,23 persen lainnya masih belum mampu dikelola dengan baik. Dari semua total sampah yang mencapai 26 juta ton itu, sampah dari sektor rumah tangga menjadi penyumbang yang paling besar mencapai 40,9 persen.
Salah satu faktor yang menyebabkan pengelolaan sampah di Indonesia belum maksimal adalah karena bwlum meratanya infrastruktur pengelolaan sampah di daerah-daerah. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri mendorong Pemda untuk melakukan percepatan pembanguann sektor tersebut.
Hal ini terutama pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R).
“Untuk mendukung pembangunan infrastruktur tersebut, diperlukan pula perubahan paradigma pengelolaan sampah dari pendekatan konvensional, yaitu kumpul-angkut-buang, menjadi reduce-reuse-recycle (3R),” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri Safrizal ZA, MInggu (17/4/2022).
Percepatan ini juga terkait dengan akan dilaksanakannya Presidensi Group of Twenty (G)20 yang berlangsung di Indonesia tahun ini. Menurut Safrizal, Preseidensi G20 merupakan momen penting untuk penyelamatan lingkungan hidup. Terlebih, dalam agenda tersebut, perubahan iklim dan lingkungan menjadi salah satu isu utama yang diangkat.
Untuk itu, Kemendagri pada Minggu (17/4/2022) meluncurkan program GILAsSampah yang bertujuan mendorong paradigma baru pengelolaan sampah yang berorientasi pada prinsip berkelanjutan melalui pemanfaatan nilai ekonomis sampah sesuai prinsip ekonomi sirkular.
Sebab, kata Safrizal, kesadaran masyarakat untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah dengan pemilahan di sumber dinilai masih kurang. Di lain sisi, kegiatan komunitas, NGO, dan pemerhati lingkungan dinilai masih kurang tersosialisasi dan terkoordinasi, sehingga menyebabkan sampah yang tidak terkelola masih tinggi.
“Dari praktik tersebut, dapat memberikan paradigma baru, khususnya kepada masyarakat bahwa sampah bila dikelola dengan baik terdapat nilai ekonomis yang beragam mencakup plastik daur ulang, kompos, pelet pakan ternak dan sumber energi (cofiring) yang memanifestasikan ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah,” imbuh Safrizal.
Di Presidensi G20, Isu persampahan menjadi salah satu fokus utama. Seperti diketahui, jumlah sampah terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, pada 2020 di Sarbagita, yang merupakan kawasan metropolitan di Bali, terdapat lebih dari 218 ribu ton per tahun sampah yang tidak terkelola dengan baik.
Karena itu, Safrizal menekankan perlunya kerja sama antarpemerintah daerah dalam kawasan metropolitan seperti Sarbagita, sehingga penyelesaian masalah persampahan dapat dilakukan melalui pengelolaan yang inovatif dan terintegrasi. Langkah ini perlu didorong untuk mengantisipasi timbulnya permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. (fat)