Jakarta (www.pilar.id) – Menurut data yang disajikan oleh Direktorat Jenderal MIGAS Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tahun lalu permintaan BBM di Indonesia mencapai 69,7 juta kiloliter, sedangkan produksi BBM di dalam negeri hanya 44,5 juta kiloliter, lalu ada tambahan pasokan campuran BBM bio diesel sebanyak 8,4 juta kiloliter.
Tahun ini impor BBM diperkirakan akan mencapai angka 18,4 juta kiloliter karena peningkatan kebutuhan menjadi 72 juta kiloliter. Sedangkan produksi stabil pada angka 44,5 juta kiloliter dan produksi bio diesel diperkirakan sebesar 9,20 juta kiloliter.
Lalu pada tahun 2022, Kementerian ESDM memperkirakan impor BBM akan turun menjadi 16,5 juta kiloliter karena ada peningkatan produksi BBM dalam negeri menjadi 47,8 juta kiloliter.
“Sampai sekarang kita memang masih membutuhkan impor BBM dan juga minyak untuk diolah menjadi BBM dan turunannya, karena produksi BBM dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional,” terang Dudi Rahman, Chairman Energy & Mining Editor Society (E2S) dalam Webinar ‘Kilang Dalam Transisi Energi: Roadmap Pengembangan Kilang & Petrokimia, Green Fuel Serta Hilirisasi Produk’, Selasa (16/11/2021).
Webinar ini menghadirkan beberapa pembicara antara lain Dadan Kusdiana, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Djoko Priyono, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Muhidin, Koordinator Pengolahan Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM, Joko Widi Wijayanto, Direktur Pengembangan Bisnis PT KPI, serta Salis S Aprilian, Founder dan CEO Digital Energy Asia.
Dudi Rahman mengungkapkan tema ini sengaja diangkat oleh E2S karena pengembangan kilang merupakan hal esensial untuk ketahanan energi nasional. Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa memiliki kebutuhan yang sangat besar untuk bahan bakar minyak (BBM).
“Indonesia tidak hanya menghadapi permasalahan konsumsi yang berlebih, namun juga dihadapkan pada strategi penyediaan cadangan strategis untuk menjamin ketahanan energi nasional. Sungguh ironi apabila negara sebesar Indonesia yang memiliki kebutuhan yang sangat besar tidak didukung dengan kebijakan pemerintah yang mengantisipasi pemenuhan kebutuhan BBM nasional,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Dr. Ir. Dadan Kusdiana menyatakan bahwasanya saat ini Indonesia sedang fokus membenahi permasalahan emisi dan mengupayakan penggunaan energi baru terbarukan, oleh karena itu nantinya kilang minyak memiliki peran penting dalam produksi serta pemanfaatan energi yang difokuskan pada green fuel.
“Walaupun saat ini hanya sebatas bio diesel namun mulai ada beberapa uji coba yang nantinya mendukung ketersediaan green fuel sebagai bagian dari transisi energi,” kata Dadan.
Selanjutnya, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Djoko Priyono menyampaikan materi terkait pengembangan kilang minyak dan petrokimia. Ia mengungkapkan bahwasanya PT Pertamina telah melaksanakan transformasi pembentukan 6 subholding pada tahun lalu, dan PT KPI ditunjuk menjadi penanggung jawab Refining & Petrochemical (RnP) Subholding.
“Pertamina melalui PT KPI sedang mengembangkan kilang dan juga petrochemical serta biorefinery dalam rangka mengantisipasi transisi energi dan juga intergasi dengan petrochemical apabila terjadi penurunan kebutuhan BBM yang digantikan oleh petrochemical yang sebagian besar masih diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu menjadi tugas pemerintah untuk kedepannya meningkatkan penyediaan petrochemical dalam negeri,” ungkap Djoko Priyono.
Sejalan dengan pemaparan para pembicara sebelumnya, Koordinator Pengolahan Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM, Muhidin, memaparkan bagaimana kebutuhan minyak dan gas bumi di Indonesia diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya, meskipun secara persentase diturunkan dalam Bauran Energi Nasional. Namun, secara nominal, volume kebutuhan kedua energi tersebut tetap meningkat.
“Diperkirakan pada tahun 2050, konsumsi minyak akan meningkat sekitar 139% dan gas naik sekitar 298% jika dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2020. Jika Indonesia terus mengandalkan impor, maka ketahanan dan kedaulatan energi nasional akan terancam,” terang Muhidin.
Menurutnya, saat ini terdapat berbagai permasalahan energi nasional antara lain menurunnya produksi minyak mentah nasional dan peningkatan impor, angka impor LPG yang masih tinggi, tertekannya ekspor batubara, dan infrastruktur gas dan listrik yang belum terintegrasi. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut, pemerintah memiliki visi untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional. Salah satu solusi pemerintah adalah meningkatkan angka produksi minyak mentah hingga 1 juta bopd serta meningkatkan kapasitas kilang BBM.
“Pemerintah mendukung penuh pembangunan kilang serta peningkatan kapasitas kilang, harapannya pada tahun 2030 terjadi penurunan bahkan pemberhentian impor bahan bakar minyak dari luar negeri,” ungkap Muhidin.
Direktur Pengembangan Bisnis PT KPI, Joko Widi Wijayanto menjelaskan bahwasanya industri kilang di Indonesia mulai memasuki tahap yang serius, saat ini sedang dilakukan pembangunan kilang di beberapa daerah antara lain Balikpapan, Balongan, dan Tuban.
PT KPI juga telah mengimplementasikan produk energi terbarukan seperti bio avtur yang produknya sudah sukses diujicobakan dan green gasoline yang juga sudah coba diproduksi di sejumlah kilang, selain itu pertamina juga akan mengembangkan industri petrokimia melalui kilang untuk mencapai ketahanan energi nasional.
Lalu Founder dan CEO Digital Energy Asia, Salis S Aprilian, menekankan kedepannya Indonesia harus bertransformasi di sektor energi dengan memenuhi 3D yaitu dekarbonisasi, desentralisasi dan digitalisasi.
“Harus dipenuhi oleh industri kilang di Indonesia, juga harus direncanakan kilang natural gas yang khusus menghasilkan petrokimia, mengingat gas dapat berperan penting sebagai jembatan transisi energi dari fosil k eke energi baru terbarukan. Tidak lupa untuk memperbarui undang-undang energi demi terciptanya iklim investasi yang lebih kondusif,” ungkap Salis S Aprilian. (fer)