Jakarta (pilar.id) – Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang diadakan oleh Dewan Pers pada tahun 2023 mengungkapkan penurunan yang signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi pada 20 indikator dari tiga lingkungan, yaitu lingkungan Fisik Politik, Ekonomi, dan Hukum. Hasil survei IKP 2023 diresmikan dalam acara peluncuran di Jakarta pada Kamis (31/8/2023).
Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, berharap bahwa hasil survei ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi kemerdekaan pers di Indonesia. Menurutnya, selama lima tahun terakhir, dari 2018 hingga 2022, nilai IKP nasional mengalami peningkatan. Ini mengindikasikan perbaikan situasi kemerdekaan pers secara keseluruhan.
“Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan, terutama ketika dibandingkan dengan hasil survei IKP dari lembaga internasional dan juga indeks demokrasi yang memberikan sinyal perlu adanya perbaikan sistemik yang perlu mendapat perhatian bersama,” ungkap Ninik.
Lebih lanjut, Ninik mengingatkan tentang tantangan berat yang dihadapi oleh media saat ini. Selain kesulitan ekonomi, media juga menghadapi dampak perkembangan teknologi informasi, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan Chat GPT, yang memerlukan pendekatan bijak dan kritis. Tetapi, dalam menghadapi segala tantangan ini, Ninik menegaskan bahwa media harus tetap berpegang pada kode etik jurnalistik untuk tetap menjadi sumber informasi yang akurat bagi masyarakat.
Penurunan dalam Survei IKP 2023
Atmaji Sapto Anggoro, Ketua Komisi Pendataan, Penelitian, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, mengungkapkan bahwa survei IKP 2023 menunjukkan nilai IKP Nasional sebesar 71,57. Angka ini mengalami penurunan sebesar 6,30 poin dibandingkan dengan hasil survei IKP 2022 yang mencapai 77,87.
Meskipun mengalami penurunan, nilai IKP 2023 masih tetap berada dalam kategori “Baik”, menunjukkan bahwa secara nasional kemerdekaan pers masih berada dalam kondisi “Cukup Bebas” sepanjang tahun 2022. Perlu diperhatikan bahwa survei IKP menilai kondisi kemerdekaan pers pada tahun sebelumnya. Hasil survei IKP 2022, misalnya, menilai kondisi kemerdekaan pers sepanjang tahun 2021, sedangkan survei IKP 2023 mengukur kondisi kemerdekaan pers sepanjang tahun 2022.
Sapto menjelaskan, “Penurunan nilai IKP ini merupakan yang pertama dalam enam tahun terakhir.” Pada survei IKP 2018, nilai mencapai 69 (kategori “agak bebas”), lalu meningkat menjadi 73,71 pada tahun 2019 (kategori “cukup bebas”), dan terus naik menjadi 75,27 (tahun 2020), 76,02 (2021), dan 77,88 (2022).
Kontributor Penurunan Nilai IKP 2023
Sapto menjelaskan bahwa beberapa indikator telah berkontribusi pada penurunan nilai IKP 2023. Di lingkungan politik, indikator seperti “Kebebasan dari Intervensi” dan “Kebebasan dari Kekerasan” mengalami penurunan sekitar 7 poin. Di lingkungan ekonomi, terjadi penurunan pada indikator “Independensi dari Kelompok Kepentingan Kuat” sebesar 8 poin. Sedangkan di lingkungan hukum, penurunan terbesar (sekitar 8-9 poin) terjadi pada indikator “Kriminalisasi dan Intimidasi Pers” serta “Etika Pers”.
Sapto juga menyoroti fakta bahwa selama tahun 2022, masih terjadi tindakan kekerasan terhadap media dan wartawan, baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik, termasuk melalui media digital. Intervensi terhadap ruang berita, baik dari luar maupun dari dalam, juga masih terjadi. Semua faktor ini ikut berkontribusi pada penurunan nilai IKP 2023.
Kondisi Kemerdekaan Pers di Provinsi
Hasil survei IKP 2023 juga menggambarkan bahwa kondisi kemerdekaan pers belum merata di berbagai provinsi. Terdapat selisih nilai yang signifikan, sekitar 20 poin, antara provinsi dengan nilai terendah dan tertinggi. Dalam hal ini, Kalimantan Timur memiliki nilai tertinggi, yaitu 84,38, sementara Papua memiliki nilai terendah, yaitu 64,01.
Sapto menegaskan bahwa Dewan Pers akan terus berusaha menghasilkan indeks kemerdekaan pers yang mencerminkan situasi aktual dan berlangsung, dengan menggunakan metode yang telah diuji dan disepakati oleh berbagai pihak, serta dilakukan secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. (hdl)