Jakarta (pilar.id) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait usia calon dan masa jabatan pimpinan KPK, dengan perbedaan pendapat signifikan 5 banding 4, semakin menunjukkan adanya perpecahan pandangan di dalam MK.
Hal ini disampaikan SETARA Institute dalam keterangan persnya, Jumat (26/5/2023). Dikatakan, meski perbedaan pendapat atau opini kontra adalah hal yang biasa, tren perpecahan yang terus terjadi menggambarkan kerapuhan dan rentannya MK, serta pengikisan integritas hakim dan kelembagaan negara.
Sebagai kumpulan para negarawan dan penafsir tunggal Konstitusi RI, cara pengambilan keputusan yang tidak konsisten di MK sangat mengkhawatirkan.
Tidak bisa dibayangkan jika isu-isu konstitusional dan kenegaraan selalu didekati dengan perhitungan matematis suara hakim yang memperlihatkan perpecahan pandangan yang berulang.
Perpecahan tersebut telah menciptakan persepsi bahwa kehendak politik MK lebih dominan dalam pengambilan keputusan daripada niat untuk menjunjung tinggi keadilan konstitusional.
Sejak awal pemeriksaan permohonan Nurul Gufron, MK telah memaksa diri untuk melanjutkan perkara ini. Jika merujuk pada kasus-kasus sebelumnya, mengenai batasan usia dan persyaratan jabatan, MK mengkategorikannya sebagai opened legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yang berarti kewenangan pengaturannya ada pada lembaga pembentuk UU, yaitu DPR dan Presiden.
Oleh karena itu, isu usia calon dan masa jabatan pimpinan KPK bukanlah isu konstitusional, tetapi merupakan kebijakan hukum terbuka. Namun, MK tidak konsisten dalam memperlakukan norma-norma sejenis ini.
Pernyataan Juru Bicara MK, Fajar Laksono (26/5/2023), yang mengacu pada pertimbangan putusan perkara nomor 112/PUU-XX/2022, bahwa putusan tersebut mengikat dan berlaku bagi kepemimpinan KPK yang saat ini menjabat, adalah tafsir dari juru bicara dan bukan isi putusan.
Oleh karena itu, pernyataan tersebut dapat diabaikan. Memang benar bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat saat diucapkan, tetapi obyek uji materi di MK adalah norma secara abstrak dan tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus konkret, seperti yang diminta oleh Nurul Gufron.
Terlebih lagi, putusan ini bersifat non-self executing, yang tidak berlaku secara otomatis untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK saat ini.
Jadi, jika Putusan MK No.112/PUU-XX/2022 diberlakukan untuk periode saat ini, maka MK tidak hanya mengabaikan pembuatan putusan yang seharusnya memiliki kekuatan progresif (berlaku ke depan), tetapi juga berpotensi menimbulkan kekacauan, ketidakpastian, dan konflik hukum baru.
Keputusan Presiden 129/P Tahun 2019 mengenai pengangkatan KPK tetap sah hingga masa jabatan pimpinan KPK berakhir pada tahun 2023. Putusan MK yang menciptakan norma baru, yaitu mengubah masa jabatan dari 4 tahun menjadi 5 tahun, keluar dari kewenangan pembentuk UU.
Sebaiknya, Presiden Joko Widodo mengabaikan putusan MK ini demi kepentingan penguatan KPK, mengoreksi cara berkonstitusi dalam kehidupan negara, dan tetap melanjutkan pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK yang baru.
Secara paralel, Presiden dan DPR sebagai lembaga pembentuk UU segera mengadakan agenda legislasi untuk membahas perubahan norma dalam UU KPK yang sedang diuji.
Putusan MK mengenai masa jabatan ini akan menciptakan preseden konstitusional terburuk dalam kehidupan negara Indonesia. (usm/hdl)