Jakarta (pilar.id) – Pencopotan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto oleh DPR dinilai mengganggu independensi peradilan. Keputusan tersebut juga dipertanyakan karena sebuah lembaga politik dapat memberhentikan seorang hakim konstitusi.
“Apalagi alasannya karena yang bersangkutan banyak menganulir produk DPR,” kata pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat, di Jakarta, Rabu (5/10/2022).
Hakim Aswanto dianggap oleh DPR banyak membatalkan secara sepihak produk undang-undang (UU) yang dibuat oleh DPR. Menurut Hidayat, ketika UU yang dibuat DPR digugat oleh masyarakat melalui judicial review (JR) ke MK, artinya
lembaga tersebut telah menjalankan tugas dan wewenangnya dalam menjaga konstitusi di Tanah Air.
“MK sebagai kontrol terhadap produk produk perundang undangan yang dihasilkan oleh parlemen,” kata Hidayat.
Menurut Hidayat, pemberhentian hakim konstitusi cacat secara hukum. Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa hakim konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut UU ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.
“Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi,” kata Hidayat.
Selain itu, lanjut Hidayat, pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, serta tidak juga melanggar sumpah jabatan. Padahal, alasan itu yang dapat menjadi dasar pemberhentian seorang hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU MK.
“Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh Komisi III DPR, yaitu yang bersangkutan membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR, tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan dasar pemberhentian seorang hakim konstitusi, ini adalah alasan yang sangat mengada-ada,” kata dia.
Hidayat mengatakan, alasan DPR mencopot Hakim MK Aswanto ini semakin menunjukkan arogansi sebuah institusi DPR saat ini. Di samping itu, yang dilakukan DPR tersebut menunjukkan abuse of power lembaga parlemen karena dapat mengintervensi institusi peradilan yang mestinya steril dari hal hal politis.
“Apa yang telah dilakukan DPR ini sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia,” kata dia. (ach/hdl)