Jakarta (pilar.id) – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, meski Indonesia sudah berusia 77 tahun, namun belum sepenuhnya menjadi negara hukum. Ia menilai, saat ini Indonesia sudah menjadi negara kekuasaan.
“Jadi negara hukum itu, saya melihatnya sebagai satu sistem. Bukan dibaca terpisah antara tangan, kaki, dan sebagainya, tapi harus dibaca keseluruhan tubuh,” katanya, di Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Penegakan hukum, kata Fahri, tidak boleh ada yang dilakukan sembunyi-sembunyi untuk melindungi para pejabat yang terlibat dalam kasus pidana. Di sisi lain, saat penegakan hukum melibatkan rakyat, kasusnya dibuka secara terang benderang.
“Kata kuncinya adalah bahwa pada momen peringatan 77 tahun Proklamasi, Partai Gelora justru mengingatkan tentang negara hukum yang memudar,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi III DPR Benny K Harman, menurutnya bangsa Indonesia dinilai belum merdeka dalam penegakan hukum karena masih kental dengan aroma kekuasaan. Padahal, kata Benny, para pendiri bangsa sudah meletakkan landasan hukum dengan kekuasan, untuk mencapai tujuan bangsa, dan bukan tujuan penguasa itu sendiri.
“Penerapan konsep kekuasaan yang menjadikan hukum sebagai panglima (rechtsstaat) masih barang langka, ketimbang menjadikan hukum sebagai alat penguasa atau negara kekuasaan (machtstaat),” kata Benny.
Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI ini mengatakan, para pendiri bangsa telah memberikan landasan untuk mencapai tujuan kekuasaan yang harus berlandaskan pada hukum. Dengan begitu, tidak ada penyelenggara kekuasaan membuat tujuan dengan melanggar prinsip dasar bernegara itu sendiri.
Berkaca dari prinsip tersebut, tegas Benny, sebenarnya Indonesia belum merdeka. Terlebih dalam pembentukan hukum sendiri masih banyak mengadopsi produk hukum asing.
“Jadi dari perspektif ini, belum merdeka, dan hukum dibikin tanpa melibatkan rakyat. Rakyat hanya melaksanakan, dan juga bukan sumber dari jiwa rakyat. Hadirnya sudah tak adil apalagi penerapannya, juga tak adil,” tegasnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun mengusulkan adanya juru bicara hukum yang bisa menjelaskan terhadap berbagai persoalan hukum guna mengevaluasi kondisi penegakan hukum saat ini. Tujuannya untuk menjadikan hukum sebagai barometer tindakan, sehingga tidak hanya main kekuasaan saja.
“Tapi berkomentar juga harus ada ukurannya, sehingga hukum jadi obyektif,” kata Refly.
Menurut Refly, masih banyak hal yang harus dibenahi dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini. Di antaranya, aspek institusi penegak hukum sendiri seperti pengadilan, kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih banyak mengalami berbagai kendala.
“Jarang sekali penegak hukum yang trusted,” terangnya.
Dari aspek culture sendiri, menurut Refly, masyarakat kurang menghargai penegakan hukum. Ia mencontohkan, seorang makin berkuasa malah meminta keistimewaan dalam tertib lalu lintas. Misalnya, meminta plat kendaraan khusus agar bebas dari aturan lalu lintas.
“Pejabat yang melanggar hukum lama sekali prosesnya, sedangkan rakyat langsung ditindak,” terangnya. (ach/fat)