Jakarta (pilar.id) – Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum tengah diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK), menyangkut batas usia calon presiden dan wakil presiden paling rendah 40 tahun. Uji materi terkait pasal ini sedang menjadi fokus pemeriksaan di MK dan telah memasuki tahap pemeriksaan pokok perkara.
Tiga pihak yang berbeda telah mengajukan uji konstitusionalitas dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.
Meskipun pemeriksaan pokok perkara telah dimulai, terdapat pandangan yang berpendapat bahwa melanjutkan sidang untuk memeriksa pokok perkara tidaklah sesuai dengan prinsip dan kewenangan MK. MK seharusnya hanya memeriksa konstitusionalitas norma jika isu yang diuji adalah isu konstitusional.
Terkait usia calon pejabat dalam pengisian jabatan publik, MK sebelumnya telah mengambil sikap bahwa masalah ini bukan merupakan isu konstitusional, seperti yang tercermin dalam sejumlah putusan MK seperti No. 37/PUU-VIII/2010 tentang usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 tentang syarat usia calon hakim konstitusi, No. 15/PUU-XV/2017 tentang usia calon kepala daerah, dan putusan No. 58/PUU-XVII/2019 dan No. 112/PUU-XX/2022 tentang syarat usia pimpinan KPK.
SETARA Institute, dalam pernyataanya pada Kamis (10/8/2023) menyatakan bahwa berdasarkan deretan putusan tersebut, MK seharusnya sudah dapat menetapkan bahwa uji materi terkait batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden bukanlah isu konstitusional. Oleh karena itu, upaya untuk melanjutkan pemeriksaan seharusnya dapat dihindari.
Proses dismissal dalam sidang pendahuluan sejatinya dimaksudkan untuk menyaring perkara-perkara yang berada dalam lingkup kewenangan MK dan untuk menilai adanya isu konstitusional dalam sebuah norma.
Selain tidak dianggap sebagai isu konstitusional, batas usia dalam pengisian jabatan publik dianggap sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
Oleh karena itu, kewenangan untuk mengaturnya seharusnya ada pada Presiden dan DPR selaku pembuat undang-undang. Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menunjukkan pandangannya pada tanggal 1 Agustus 2023 telah dilihat sebagai langkah yang tepat dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi hakim konstitusi lainnya, untuk mengakui bahwa batas usia bukanlah isu konstitusional dan tidak perlu melanjutkan pemeriksaan lebih lanjut.
MK telah lama berperan dalam mengklarifikasi batasan tafsir tentang diskriminasi yang seringkali menjadi argumen dalam pengujian konstitusionalitas norma.
Menurut SETARA Institute, banyak penggunaan argumen diskriminasi yang keliru, yang sebenarnya merupakan bentuk perlakuan berbeda dalam konteks yang berbeda.
Dalam riset tentang Kinerja Mahkamah Konstitusi selama 10 tahun, SETARA Institute (2013) mencatat bahwa MK telah memberikan batasan dalam memahami konsep diskriminasi dan non-diskriminasi. MK menegaskan bahwa perlakuan berbeda bukanlah bentuk diskriminasi.
Perlakuan berbeda dalam pengisian jabatan tertentu, seperti yang telah diatur dalam beberapa putusan MK, dapat dijustifikasi dengan mempertimbangkan relevansi fungsi lembaga tersebut.
SETARA Institute menekankan pentingnya konsistensi MK dan mendorong MK untuk tetap memegang integritas dan pengetahuannya dalam menghadapi upaya pengujian norma yang sebenarnya bukan isu konstitusional, dengan argumen yang tidak relevan seperti diskriminasi yang tidak masuk akal.
MK diharapkan untuk tidak terpengaruh oleh dinamika politik menjelang Pemilu, dan menjaga konsistensi serta integritas dalam mengambil keputusan. Dalam konteks ini, MK sebaiknya menunda sidang perkara uji materi batas usia hingga setelah Pemilu usai, guna menjaga integritas Pemilu yang saat ini tengah berlangsung. (hen/hdl)