Jakarta (pilar.id) – Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan, Partai Demokrat menjadi salah satu partai yang konsisten menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Saat itu, Demokrat walk-out di sidang paripurna DPR RI, 5 Oktober 2020.
“Mengapa kami walk out, mengapa kami menolak? Karena pada esensinya, Undang Undang tersebut cacat, baik secara formil maupun materiil,” kata AHY, di Jakarta, Kamis (12/1/2023).
AHY mengatakan, Partai Demokrat mencatat ada 4 kelemahan dalam UU Cipta Kerja. Pertama, UU Ciptaker tidak memuat substansi hukum dan kebijakan yang mengandung kegentingan memaksa. Kedua, UU Ciptaker ini berpotensi memberangus hak-hak buruh di Tanah Air.
Ketiga, Partai Demokrat mempertanyakan prinsip keadilan sosial (social justice) dari UU Ciptaker. “Apakah sesuai dengan konsep ekonomi Pancasila? Atau justru sangat bercorak pada kapitalistik dan neoliberalistik?” kata AHY.
Keempat, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU Ciptaker ini kurang transparan dan akuntabel. “Ternyata sikap kritis Partai Demokrat tersebut terbukti pada 26 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa produk Omnibus Law atau UU Ciptaker tersebut sebagai sesuatu yang inkonstitusional bersyarat,” ujar AHY.
Menurut AHY, amar putusan MK sudah sangat jelas. Selain mengkonfirmasi pendapat Partai Demokrat, MK juga meminta untuk memperbaiki UU Ciptaker agar lebih partisipatif, aspiratif, dan legitimate. Perbaikan tersebut semestinya dapat mengakomodir aspirasi masyarakat.
“Melibatkan masyarakat dan berbagai kalangan yang memang menjadi stakeholder dari UU Ciptaker tersebut,” kata dia.
Tetapi, kata AHY, pemerintah justru menjawab keputusan MK dengan mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu semestinya hanya digunakan pada saat genting dan memaksa. Padahal, menurut AHY, saat ini tidak ada situasi yang genting maupun memaksa sebagaimana termuat dalam Pasal 22 UUD 1945.
“Terkait hal ini, saya tegaskan kembali bahwa Partai Demokrat menolak dikeluarkannya Perppu Ciptaker,” kata AHY.
Di sisi lain, MK memberikan waktu luang selama 2 tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan sebelum batal permanen. Makanya, menurut AHY banyak penolakan terhadap Perppu tersebut karena dinilai sebagai upaya pembangkangan dan pengkhianatan terhadap konstitusi.
“Ada ruang. Lalu kenapa harus diburu-buru untuk diterbitkan,” kata dia. (ach/hdl)