Jakarta (pilar.id) – Diaspora Indonesia memberikan kritik tajam pada Mahkamah Konstitusi (MK). Meski langkah MK memberhentikan Anwar Usman sebagai Hakim Ketua dan melarangnya terlibat dalam pemeriksaan perkara perselisihan hasil Pemilu, diapresiasi oleh Asosiasi Pengacara Indonesia-Amerika Serikat.
Menurut Michael B. Indrajana, juru bicara Indonesian American Lawyers Association (IALA), langkah ini penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia.
“Tanpa adanya sistem hukum yang bisa dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat, konsep negara hukum akan jatuh pada rezim anarkis atau menjadi negara totaliter,” ujar Michael, seperti disampaika dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/11/2023).
IALA baru-baru ini menyelenggarakan serangkaian diskusi ilmiah berjudul The Critical Hour, dengan fokus pada tema Judicialization of Politics: Bird’s Eye View from the U.S. and Indonesia.
Diskusi ini melibatkan advokat dan praktisi hukum dari diaspora Indonesia yang berbasis di AS, Anggota IALA, serta advokat senior dari Indonesia.
Diskusi dipimpin oleh Bhirawa J. Arifi dari Badranaya Partnership di Jakarta sebagai moderator, membahas yudisialisasi politik dan membandingkan sistem peradilan di AS dan Indonesia, termasuk penanganan konflik hukum di kedua negara.
Dalam diskusi, Michael B. Indrajana membahas konflik kepentingan yang melibatkan Anwar Usman, Hakim Ketua MK. Michael menekankan bahwa masalah utama bukanlah isi Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, melainkan konflik kepentingan terkait yang menyebabkan ketidakpastian hukum.
“Ketua MK, Anwar Usman, terlibat secara langsung karena memiliki hubungan keluarga dengan Gibran Rakabuming Raka, keponakannya, yang menimbulkan pertentangan etik serius dan pelanggaran Pasal 17 UU No. 48 (2009) tentang Kekuasaan Kehakiman,” ungkap Michael.
Para narasumber dalam diskusi menyoroti beberapa aspek konflik Putusan MK, termasuk penambahan klausul terkait jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, dianggap melebihi kewenangan MK. Mereka juga menganggap putusan tersebut batal karena cacat hukum akibat konflik kepentingan.
Diskusi menegaskan pentingnya menjaga kredibilitas, integritas, dan etika dalam sistem hukum. Para narasumber berpendapat bahwa kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang berintegritas dan adil bergantung pada reputasi ahli hukum, pengacara, dan institusi kehakiman.
Dalam menghadapi tekanan publik dan tantangan demokrasi, para narasumber menyatakan bahwa aspek konflik dan tantangan adalah bagian dari perkembangan demokrasi, atau yang sering disebut sebagai “growing pains of democracy.”
Di antara narasumber yang hadir adalah Michael B. Indrajana, Bhirawa J. Arifi, Albertus M. Alfridijanta, Lia Sundah Suntoso, Jason Y. Lie, dan advokat senior Saor Siagian. Bhirawa menyimpulkan, “Tekanan publik adalah tanda jelas bahwa demokrasi di Indonesia sedang diuji. Namun, selama seluruh elemen masyarakat bergerak bersama, proses demokrasi akan terus berlangsung dan menjadi semakin matang”. (usm/hdl)