Surabaya (pilar.id) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Kesehatan pada Selasa (11/7/2023). Pengesahan ini menimbulkan sejumlah isu yang mulai bergulir, termasuk perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan (nakes), partisipasi masyarakat, penghapusan mandatory spending oleh pemerintah, dan isu kriminalisasi nakes.
Pakar hukum pidana dan hukum kesehatan dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR), Riza Alifianto Kurniawan SH MTCP, memberikan tanggapan terkait isu-isu tersebut.
Riza menjelaskan bahwa UU Kesehatan yang baru disahkan memberikan perubahan kebijakan dalam pengelolaan dan pemberian hak kesehatan kepada warga negara Indonesia.
Menurutnya, UU ini berpotensi meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia. Selain itu, Riza juga menyoroti isu perlindungan hukum bagi nakes. Ia menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap tenaga medis dan nakes tidak mengalami perubahan.
Negara tetap menjamin bahwa tenaga medis dan nakes dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugas keprofesian mereka.
Menanggapi isu tidak melibatkan partisipasi masyarakat, Riza menyampaikan bahwa draft RUU Kesehatan sebelumnya telah dibagikan kepada organisasi profesi dan akademisi.
Telah ada usulan dan tanggapan dari perwakilan organisasi profesi dan akademisi untuk penyempurnaan draft RUU. Hal ini menunjukkan adanya upaya melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses penyusunan RUU.
Sebagai pakar hukum pidana, Riza juga menyoroti isu kriminalisasi nakes. Ia menjelaskan bahwa UU Kesehatan yang baru mengatur mengenai nakes yang dapat dipidana apabila melakukan kesalahan atau kelalaian. Namun, menurut Riza, hal ini bukanlah bentuk kriminalisasi terhadap nakes.
Tindakan ceroboh atau sembrono yang mengakibatkan luka atau kematian dilarang oleh hukum, sehingga siapapun yang bersikap ceroboh dan lalai, termasuk nakes, layak untuk dipidana.
Riza juga menambahkan bahwa UU Kesehatan juga mengatur penyelesaian sengketa medis antara dokter dan pasien. Menurut UU Tenaga Kesehatan, sengketa medis wajib diselesaikan melalui mediasi sebelum dilakukan proses litigasi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kriminalisasi khusus terhadap dokter atau nakes.
Terakhir, terkait dengan isu mandatory spending oleh pemerintah, Riza menyatakan bahwa negara harus berkomitmen kuat untuk memastikan pembiayaan kesehatan masyarakat Indonesia di masa depan. Komitmen kuat ini harus didukung dengan pelaksanaan yang baik guna mencegah penurunan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
UU Kesehatan yang baru disahkan ini menjadi landasan hukum yang mengatur berbagai aspek dalam bidang kesehatan. Dalam merespons isu-isu yang muncul, penting untuk melihat dan memahami substansi dari UU tersebut. (hdl)