Jakarta (pilar.id) – Asisten Deputi Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Edwin Manansang mengatakan, tren ekonomi digital terus tumbuh dan dan diperkirakan pada 2030 nanti nilainya akan mencapai Rp5 ribu triliun. Menurutnya, penopang utama dari ekonomi digital adalah e-commerce.
“Nilai transaksi e commerce mencapai 53 miliar dolar AS atau Rp750 triliun pada 2021 dan diperkirakan tumbuh hingga 104 miliar dollar as pada 2025,” kata Rizal, di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Namun, lanjut Rizal, tren perkembangan e commerse tersebut juga harus didukung dengan penciptaan ekosistem ekonomi digital yang kondusif. Termasuk terkait regulasi kebijakan perpajakan guna menciptakan prinsip keadilan melalui kesetaraan berusaha serta kompetisi yang sehat antara pelaku usaha konvensional dan digital.
Karena itu, arah kebijakan pajak yang akan diambil juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e commerce nasional, termasuk bagi UMKM yang memanfaatkan market place dalam memperluas bisnis mereka. Hingga Agustus 2022, lanjut Edwin, pemerintah telah mengumpulkan Rp8,2 triliun dari pajak pertambahan nilai melalui Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang berasal dari 106 pelaku usaha PMSE.
“Pemerintah sendiri telah menunjuk 127 PMSE menjadi wajib pungut (PPN) dengan 106 di antaranya telah melakukan pemungutan,” jelas dia.
Sesuai PMK nomor 60 tahun 2022 yang merupakan turunan dari UU HPP, perusahaan penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib memungut PPN dengan tarif 11 persen atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia. Pajak ini, menurut Rizal, wajib dipungut perusahaan yang memiliki nilai transaksi melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan.
“Dengan jumlah trafic atau pengakses di Indonesia melebihi 12 ribu setahun atau 1000 trafic,” kata dia.
Sementara itu Kasubdit Peraturan PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Bonarsius Sipayung, mengatakan, terdapat tantangan tersendiri untuk mengatur pelaku usaha online. Karena mereka tidak diketahui secara pasti lokasi penjualannya. Sehingga diperlukan regulasi yang adil antara pelaku usaha online dan offline.
Menurutnya, untuk menerapkan aturan tersebut banyak aspek yang perlu dipkirkan kembali. Ia setuju dengan Adrianto terkait assessment. Namun, ketika dikaitkan dengan Pasal 32A UU KUP, harus dipertimbangkan juga terkait eksistensi assessment dan compliance cost yang akan timbul.
“Akan kebayang ribet untuk market place bagi sesuatu yang tidak kita kontrol,” kata Bonarsius. (ach/din)