Jakarta (pilar.id) – Hari Anak Nasional (HAN) biasanya diperingati setiap tanggal 23 Juli. Wajah ceria anak-anak semestinya menghiasi berbagai media. Namun, anak-anak masih dihadapkan dengan berbagai tindak kejahatan serius.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) mencatat, sepanjang tahun 2021 telah terjadi sebanyak 11.952 kasus kekerasan anak. Terbaru, kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur berinisial R (15) yang ditemukan warga dalam kondisi kaki terikat rantai di Gang Bersama RT 02/RW 08 Kelurahan Jatikramat, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (LKBH FH UPH) Hosiana D A Gultom mengatakan, anak adalah aset bangsa. Sehingga harus diperlakukan dengan baik.
Namun, Saat ini anak dihadapkan dengan berbagai situasi yang dapat mengancam nyawa. Mulai dari korban penyalahgunaan narkoba, korban penculikan, hingga kekerasan fisik dan psikis. “Kemudian korban perlakuan salah dan penelantaran,” kata Hosiana, Jumat (22/7/2022).
Sementara itu, Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi) Tangerang, Banten L Wiwiek Sritanti mengatakan, kerangka hukum masih gagal melarang kekerasan pada anak. Menurutnya, hukum seolah jalan di tempat ketika berhadapan dengan kejahatan yang melibatkan anak sebagai korbannya.
“Hukum banyak berdiam di tempat, untuk pencegahan itu tidak memadai,” kata Wiwiek.
Menurut Wiwiek, sosialiasi belum cukup untuk mencegah kasus kekerasan terhadap anak kembali terjadi. Ia juga mengkritik sikap sosial atau budaya memaafkan kekerasan.
“Yang dilindungi bukan hanya kekerasan terhadap anak lho, tapi ada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan hukum (ABH), anak korban pornografi, anak korban pelecehan seksual,” terang Wiwiek.
Saat ini, lanjut Wiwiek, yang diperlukan adalah pejuang kemanusiaan. Mereka adalah garda terdepan untuk mengimplementasikan perlindungan terhadap anak.
Senada, Yudi Candra yang juga Tim PBH Peradi Tangerang, Banten menambahkan, pemerintah harus hadir dengan memberikan kepastian terhadap anak. Perlindungan tidak hanya diberikan kepada korban, tetapi juga anak yang berhadapan dengan hukum juga perlu mendapatkan pendampingan secara khusus.
“Secara pembinaanya dipisahkan dengan orang-orang dewasa,” kata dia.
Jangan sampai, lanjut Yudi, ABH mendapatkan hukuman seumur hidup atau hukuman yang sangat berat. Karena, hukum merupakan cara terakhir yang bisa dilakukan. “Kita masih bisa mediasi lah. Karena, nggak semua perlakuan anak dapat dihukum,” kata Yudi. (ach/hdl)