Jakarta (pilar.id) – Hari ini atau tepatnya tanggal 18 Desember 2022 diperingati sebagai Hari Pekerja Migran Internasional. Peringatan Hari Pekerja Migran ke-32 tahun ini, dibayangi nasib Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sampai saat ini masih memprihatinkan.
“Sepanjang pandemi, ribuan pekerja migran menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di Kamboja, Myanmar, Laos, dan Filipina,” kata Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah, di Jakarta, Minggu (18/12/2022).
Anis menyebutkan, selama periode 2020 hingga 2022 pihaknya telah menerima 257 aduan terkait dengan PMI. Kasus yang diadukan antara lain, pemenuhan terhadap hak-hak pekerja migran karena gaji dan asuransi tidak dibayarkan. Kemudian terkait permohonan pemulangan PMI karena hilang kontak, meninggal, hingga dugaan penyanderaaan oleh majikan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
“Kemudian kasus lain, mereka menghadapi kriminaliasi di negara tujuan, korban perkosaan yang berhadapan dengan hukum, serta penahanan di negara tujuan,” ungkap Anis.
Menurut Anis, Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) menjadi pihak yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM. Sementara itu, negara yang paling banyak diadukan adalah Malaysia.
Selain itu, Komnas HAM juga melakukan monitoring secara khusus terkait pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam kurun waktu 2017-2022, sebanyak 624 PMI asal NTT meninggal dunia di luar negeri.
“Banyak di antara mereka yang sebab-sebab meninggal dunianya tidak diketahui sampai sekarang. Banyak juga di antara mereka yang hak asasinya belum terpenuhi,” kata dia.
Anis menambahkan, sebanyak 325.477 orang berpotensi tidak memiliki kewarganegaraan atau stateless di Malaysia. Komnas HAM, lanjut Anis, telah menyepakati kerja sama dengan Human Rights Commission of Malaysia (SUHAKAM) dan Commission on Human Rights of the Philippines (CHRP) untuk menangai WNI yang terancam menjadi stateless di Malaysia.
“Penting bagi pemerintah Indonesia untuk merefleksikan perlindungan mereka yang sering disebut sebagai pahlawan devisa,” kata Anis. (ach/hdl)