Jakarta (pilar.id) – Mengajukan Gugatan terhadap Presiden melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) Jakarta dilakukan Advokat dr Prianto dalam upaya melawan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 114/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang Diajukan oleh DPR (“Keppres”).
“Mengawali Tahun Baru 2023 ini, saya telah menepati janji untuk tidak berhenti terkait Kepres tersebut dan gugatan saya telah terdaftar dengan nomor 2/G/2023/PTUN.JKT,” ungkapnya dalam keterangan pers yang diterima pilar.id, Rabu (4/1/2023).
Dijelaskannya upaya gugatan itu ditempuhnya sebagai tindak lanjut dari penolakan yang dilakukan oleh Presiden atas keberatan yang telah ia ajukan.
Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara memberikan jawabannya dalam surat Nomor B-1231/M/D-3/AN.01.00/12/2022 tertanggal 23 Desember 2022. Surat itu sendiri baru ia terima pada tanggal 27 Desember 2022. Inti surat dari satu halaman itu menyatakan permohonan keberatan administratif yang tidak dapat dikabulkan karena penetapan Keputusan Presiden dimaksud sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
“Tidak ada keterangan atau penjelasan atau alasan lebih lanjut yang disebutkan di dalamnya. Jadi, saya sendiri tidak paham dengan isi surat dimaksud terutama terkait dengan di bagian mana dan bagaimana surat dimaksud dikatakan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” terangnya.
Dijelaskannya baik secara prosedural maupun secara materiil, penerbitan serta subtansinya adalah cacat dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU MK. Dari sisi prosedur, suatu tindakan pemberhentian dan perbuatan pengangkatan Hakim Konstitusi merupakan dua peristiwa yang terpisah dengan proses hukum yang berbeda sehingga keduanya tidak dapat dituangkan dalam satu Keppres.
Pun dipersyaratkan adanya proses pemilihan calon Hakim Konstitusi secara partisipatif, obyektif serta akuntabel. Sedangkan aspek substantif yang dapat dipergunakan sebagai alasan pemberhentian ternyata juga tidak terpenuhi.
“Tentunya, saya sangat kecewa dengan penolakan itu. Patut disayangkan, Presiden atau dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara tidak menyelenggarakan pertemuan atau audiensi terlebih dahulu dengan saya selaku pemohon. Sepantasnya perlu dilaksanakan suatu forum tanya jawab. Presiden (Menteri Sekretaris Negara) seyogyanya mendengarkan pandangan atau pendapat kami sebelum mengambil sikapnya,” paparnya.
Prianto lantas menegaskan kembali jika dasar dari keputusan yang diberikan akan lebih berbobot dan berisi, tidak sekedar menolak dengan alasan yang “ala kadarnya”.
Kendati demikian, tidak ada lagi langkah administratif lebih jauh yang dapat dilancarkan terhadap penolakan itu. Terhadap keputusan yang dijatuhkan dalam upaya Keberatan Administratif dapat diajukan Banding kepada Atasan dari pejabat yang bersangkutan. Akan tetapi, dalam hal ini, dijelaskan Prianto bahwa Presiden tidak memiliki atasan. Dia menjadi pejabat tertinggi dalam administrasi kenegaraan.
“Oleh karena itu, tidak dapat ditempuh upaya banding atas ditolaknya Keberatan saya. Jadi, pengajuan Gugatan ke PTUN Jakarta menjadi solusi untuk meluruskan kekeliruan yang ditimbulkan dari Keppres dimaksud, sekalipun akan memakan waktu yang tidak singkat dengan proses peradilan yang bertahap. Itu merupakan resiko perjuangan yang harus saya ambil sebagai bentuk pertanggung-jawaban moral saya,” pungkasnya. (din/r)