Jakarta (pilar.id) – Nyanyian lagu setuju, jika boleh meminjam lirik lagu ‘Wakil Rakyat’ milik Iwan Fals, hari ini kembali terdengar di Sidang Paripurna ke-8 Masa Sidang Tahun 2021-2022 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Lantunan kata setuju, yang berkumandang secara serentak itu dilantunkan oleh para anggota DPR RI baik yang hadir secara langsung di Gedung Nusantara v, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, maupun oleh para anggota dewan yang hanya bisa hadir secara virtual, Jumat (18/2/2022).
Dengan lantunan kata setuju tersebut, maka secara kelembagaan, DPR RI akan mengajukan judicial review terkait Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi. Ini bukan kali pertama presidential threshold digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya sudah ada kelompok dan perorangan juga yang mengajukan gugatan serupa agar aturan pencalonan presiden ini bisa diubah dan disesuaikan dengan kondisi terkini. Terutama terkait syarat bahwa hanya partai yang memenangi sekian persen kursi parlemen saya yang bisa mengajukan calon presiden.
Sehingga, membatasi munculnya calon-calon alternatif dari jalur independen maupun partai-partai lain yang tidak memenuhi ambang batas presidential threshold tersebut.
“Untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dan beberapa elemen organisasi kemasyarakatan yang diperoleh ketika rapat dengar pendapat, FGD dan kunjungan kerja, maka DPD RI secara kelembagaan akan mengajukan judicial review terkait presidential threshold dimaksud ke Mahkamah Konstitusi,” jelas pimpinan sidang, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
LaNyalla kemudian mengetuk palu sidang tiga kali. Dijelaskan oleh LaNyalla dalam pengantar sidang, bahwa wacana calon presiden dan wakil presiden serta Presidential Threshold bukan gagasan baru.
Namun, sudah menjadi diskursus publik sejak tahun 2003 atau 2004 saat bekerjanya Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR dan menjelang Pemilu tahun 2009.
Dalam kesempatan itu LaNyalla juga menegaskan setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi dukungan atas usul calon perseorangan maupun presidential threshold.
“Pertama kekecewaan atau ketidakpuasan terhadap pelaksanaan demokrasi. Kedua rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik. Ketiga semakin kuatnya dukungan atas ide calon perseorangan dan wacana Presidential Threshold 0%,” paparnya.
Menyikapi tiga hal ini, lanjutnya, DPD RI telah berupaya untuk memasukkan usulan RUU tentang Pemilihan Umum ke dalam Prolegnas RUU Prioritas tahun 2022 namun tidak diakomodir oleh DPR dan pemerintah.
“Oleh karena itu kami mengapresiasi upaya hukum dari beberapa anggota DPD RI yang telah melakukan judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu ke MK. Kami mendukung upaya tersebut,” tukasnya. (lin/fat)