Jakarta (pilar.id) – Staf Khusus Menteri Agama Bidang Ukhuwah Islamiyah, Hubungan Organisasi Kemasyarakatan dan Sosial Keagamaan, dan Moderasi Beragama, Ishfah Abidal Aziz, mengimbau agar masyarakat tidak menggunakan visa ziarah untuk melaksanakan ibadah haji.
Menurut Ishfah, visa yang diakui oleh Pemerintah Arab Saudi dan berdasarkan Undang-Undang di Indonesia untuk menjalankan ibadah haji adalah visa haji. Visa dalam bentuk lain tidak dapat digunakan, dan penggunaannya terlalu berisiko.
“Oleh karena itu, saya mengimbau kepada umat muslim Indonesia untuk memperhatikan dengan baik visa tersebut. Jangan sampai, hanya karena ada visa, kita langsung berangkat. Visa harus dicek apakah itu visa haji atau ziarah,” tegas Gus Alex, panggilan akrab Ishfah.
Gus Alex menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan haji, ada jemaah yang mendapatkan visa resmi melalui pemerintah Arab Saudi, yang dikenal sebagai visa mujamalah. Visa mujamalah diberikan oleh pemerintah Arab Saudi dalam konteks membangun diplomasi atau hubungan baik antar dua negara, dan visa ini digunakan untuk menyelenggarakan ibadah haji.
“Jika visa yang dimiliki adalah visa haji, maka silakan berangkat melalui proses haji khusus atau reguler, atau melalui visa mujamalah tadi. Namun, jika visa yang digunakan diluar ketiga jenis tersebut, maka terlalu berisiko,” tambahnya.
Gus Alex juga mengingatkan bahwa jika calon jemaah haji nekat menggunakan visa ziarah, mereka akan dihadapkan pada risiko terbesar, yaitu dapat dideportasi. “Risiko terbesar adalah dideportasi,” tegasnya.
Selain itu, pelaksanaan haji juga mensyaratkan adanya tasreh untuk bisa masuk ke Arafah. “Tentu ini merupakan risiko besar, mengingat ibadah haji di Arafah adalah wukuf di Arafah,” ungkap Gus Alex, yang juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
“Untuk memitigasi risiko ini, jemaah kita diminta untuk menggunakan visa haji melalui jemaah haji reguler, jemaah haji khusus, atau visa mujamalah. Semuanya menggunakan visa haji,” pungkasnya. (rio/ted)