Jakarta (pilar.id) – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus memberikan dorongan kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk mempercepat realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjelang akhir tahun anggaran 2023.
Percepatan ini dianggap penting agar target pembangunan dan pelayanan yang telah ditetapkan oleh Pemda dapat tercapai.
Menurut data Kemendagri, hingga 31 Agustus 2023, realisasi pendapatan provinsi dan kabupaten/kota mencapai Rp679,81 triliun atau 54,88 persen.
Angka ini masih di bawah realisasi pada periode yang sama tahun 2022, yang mencapai 59,41 persen atau Rp684,05 triliun.
Sedangkan realisasi belanja provinsi dan kabupaten/kota pada 31 Agustus 2023 adalah sebesar Rp603,79 triliun atau 46,71 persen, yang juga lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 48,11 persen atau Rp586,65 triliun.
Agus Fatoni, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri, menjelaskan bahwa salah satu penyebab rendahnya realisasi APBD adalah keterlambatan dalam proses lelang. Masalah ini bisa diatasi dengan memanfaatkan e-Katalog, Katalog Lokal, Toko Daring, dan lelang dini.
Fatoni menambahkan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) juga penting untuk mempercepat realisasi APBD. Pemahaman yang baik terhadap peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan kemampuan teknis sangat diperlukan dalam pengelolaan keuangan daerah. Hal ini penting agar tidak ada keraguan dalam melaksanakan kegiatan dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana.
Selain itu, penagihan pembayaran harus sesuai dengan kemajuan fisik kegiatan agar tidak ada penagihan besar di akhir tahun. Pemda juga harus membuat target realisasi APBD dan memastikan bahwa target tersebut dapat tercapai dengan pencapaian 20 persen pada triwulan pertama, 50 persen pada triwulan kedua, 80 persen pada triwulan ketiga, dan mendekati 100 persen pada triwulan keempat.
Realisasi APBD masih rendah
Fatoni juga mencatat sejumlah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang masih memiliki realisasi APBD yang rendah. Di tingkat provinsi, realisasi pendapatan terendah mencakup Papua Pegunungan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Jambi, Papua Selatan, Sumatera Selatan, Maluku, Sulawesi Tenggara, Aceh, dan Sulawesi Utara. Di tingkat kabupaten, daerah dengan realisasi rendah termasuk Nduga, Raja Ampat, Kepulauan Sula, Jayawijaya, Mamberamo Raya, Ende, Tapin, Pulau Taliabu, Halmahera Selatan, dan Halmahera Barat. Di tingkat kota, termasuk Tual, Ternate, Makassar, Tidore Kepulauan, Ambon, Pematang Siantar, Kupang, Banjarmasin, Balikpapan, dan Mojokerto.
Adapun provinsi dengan realisasi belanja terendah meliputi Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Barat Daya, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Selatan. Di tingkat kabupaten, daerah dengan realisasi belanja rendah termasuk Nduga, Tolikara, Boven Digoel, Mimika, Nabire, Puncak Jaya, Mamberamo Raya, Kepulauan Sula, Mahakam Ulu, dan Mappi. Di tingkat kota, termasuk Makassar, Tual, Bontang, Pasuruan, Surabaya, Ambon, Kupang, Padang Panjang, Tidore Kepulauan, dan Balikpapan.
Kemendagri terus mendorong Pemda untuk mengatasi masalah ini dan memastikan percepatan realisasi APBD guna mencapai target pembangunan dan pelayanan yang telah ditetapkan. (hen/ted)