Pontianak (pilar.id) – Imbauan terkait dengan kewaspadaan terhadap penyakit cacar monyet tertuang dalam SE Dirjen P2P Kemenkes RI No: HK.02.02/C/2752/2022 tentang Kewaspadaan terhadap penyakit Monkeypox di negara non endemis.
Dalam SE diharapkan Dinkes provinsi/kabupaten/kota, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Labkesda, Faskes RS/ Puskesmas untuk meningkatkan kewaspadaan dengan pemantauan epidemiologi dan penemuan kasus.
Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat Harry Agung menerangkan langkah yang dilakukan jika penyakit cacar monyet timbul, sama perlakuannya dengan kasus Emerging Disease lainnya.
Antara lain koordinasi dengan dinkes kabupaten/kota, meningkatkan pemantauan epidemiologi, melibatkan promosi kesehatan terkait edukasi Monkeypox ke masyarakat dan meningkatkan kewaspadaan baik di pintu masuk ke Kalbar koordinasi dengan KKP.
“Penyakit ini mirip dengan smallpox atau cacar, namun lebih ringan. Masa inkubasi 5 hingga 21 hari. Gejala yang dialami antara lain demam, sakit kepala hebat, pembesaran limfadenopati, nyeri punggung, dan nyeri otot,” tegas.
Kemudian ruam muncul pada wajah sampai ke punggung mirip cacar, lepuh berisi cairan, biasanya ruam menghilang pada minggu ketiga. Lalu dapat sembuh sendiri berlangsung 14 hingga 21 hari dan sering terjadi pada anak-anak.
“Pengobatan sesuai gejala yang muncul,” cetusnya.
Ditambahkannya pencegahan yang dilakukan dengan berperilaku hidup bersih dan sehat, serta makan makanan bergizi.
“Penyakit ini termasuk zoonosis yang penularannya bisa lewat hewan monyet, tikus, tupai dan hewan pengerat lainnya, sehingga harus berhati-hari dengan hewan-hewan tersebut,” paparnya
Meski demikian hingga saat ini belum ditemukan kasus cacar monyet/ Monkey Pox di Provinsi Kalimantan Barat.
“Kasus ini pernah viral tahun 2019 tapi sampai sampai hari ini belum ada laporan terkait kasus cacar monyet di Kalimantan Barat,” ungkap Harry Agung.
Diakui Harry pihaknya tetap melakukan antisipasi. Seperti melakukan pemantauan epidemiologi dengan investigasi kontak erat jika ditemukan suspek. Surveilance epidemiologi dilakukan oleh tenaga kesehatan di semua fasilitas yang dikoordinir oleh tenaga surveilans di dinas kesehatan kabupaten/kota.
“Bila ada temuan suspek akan dilaporkan ke Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon SKDR atau PHEOC yang bisa dipantau Dinas Kesehatan Provinsi dan Kemenkes,” imbuhnya lagi. (dinaprihatini)