Jakarta (pilar.id) – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 5,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 6,00%. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi.
“Serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya,” kata Perry, di Jakarta, Kamis (17/11/2022).
Perry menjelaskan, kuatnya dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global memberikan tekanan pelemahan nilai tukar hampir seluruh mata uang dunia, termasuk mata uang Garuda. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) tercatat 106,28 pada 16 November 2022 atau mengalami penguatan sebesar 11,09% (ytd) selama tahun 2022.
Dengan demikian, nilai tukar rupiah sampai dengan 16 November 2022 terdepresiasi 8,65% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. Depresiasi nilai tukar Rupiah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara lain di kawasan, seperti Korea Selatan 10,30% (ytd) dan Filipina 11,10% (ytd).
“Sangat kuatnya dolar AS didorong oleh pengetatan kebijakan moneter yang agresif di AS dan penarikan modal dari berbagai negara ke AS, di tengah melemahnya ekonomi dan tingginya inflasi di Eropa,” kata Perry.
Pada saat bersamaan, tingginya ketidakpastian pasar keuangan global berlanjut. Ke depan, lanjut Perry, BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
Perry mengatakan, ekspektasi inflasi masih tinggi meskipun inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) lebih rendah dari prakiraan awal. Inflasi IHK pada Oktober 2022 tercatat sebesar 5,71% (yoy), masih di atas sasaran 3,0±1%, meskipun lebih rendah dari prakiraan dan inflasi bulan sebelumnya sebesar 5,95% (yoy).
“Inflasi kelompok volatile food turun menjadi 7,19% (yoy) dan inflasi administered prices tercatat sebesar 13,28% (yoy),” kata Perry.
Sementara itu, inflasi inti tercatat sebesar 3,31% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya sejalan dengan dampak rambatan dari penyesuaian harga BBM dan meningkatnya ekspektasi inflasi. Consensus Forecast bulan November 2022 menunjukkan ekspektasi inflasi pada akhir 2022 masih tinggi yaitu 5,9%(yoy) meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya 6,7%(yoy).
Dengan perkembangan tersebut, BI akan memperkuat respons kebijakan moneter untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi. Selain itu, BI akan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023. (ach/din)