Jakarta (pilar.id) – Kasus kekerasal seksual kembali terjadi di lingkungan pondok pesantren. Setelah kasus perkosaan yang dilakukan Herry Wirawan ke belasan santrinya. Kali ini, kasus kekerasan seksual kembali menggemparkan masyarakat Indonesia melalui kasus yang terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur.
Anak dari pendiri pondok, Kiai Muhammad Mukhtar Mukthi, berinisial MSAT atau kerap disampa Mas Bechi menjadi tersangka kekerasan seksual yang menghebohkan publik. Agar kejadian tersebit tidak terulang kembali di pesantren, maka harus ada upaya dari semua pihak.
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mengatakan, dalam konteks pesantren, harus ada pengawasan yang ketat yang memisahkan antara laki-laki dengan perempuan. Tenaga pengajarpun disediakan khusus ustadzah untuk santriwati dan ustadz untuk santi laki-laki.
Adapun interaksi dengan lawan jenis antara ustadz dengan santriwati hanya untuk kelas besar yang tidak dihadiri oleh banyak murid. “Dengan demikian menghindari celah terjadinya pelecehan seksual seperti pada asus di atas,” kata Achmad kepada Pilar.id, Sabtu (9/7/2022).
Berikutnya, lanjut dia, di instusi pendidikan harus dikembangkan semangat egaliter. Artinya, harus ada pengawasan, baik kepada murid ataupun kepada guru. Harus ada mekanisme di lembaga pendidikan untuk melaporkan jika terjadi pelecehan seksual.
Menurut Achmad, sistem pengawasan ini harus independen dimana korban harus dilindungi dan pelaku diberikan sangsi yang seberat-beratnya. Hal ini dapat meminimalisir kasus-kasus semacam ini.
Untuk kasus di Jombang, mata dia, jika ada unsur kelalaian dari pihak lembaga, maka tentunya lembaga juga harus ikut bertanggungjawab karena tidak melakukan pengawasan sehingga terjadi kasus pencabulan ini.
Artinya bukan hanya pelaku yang diberi tindakan tapi juga institusi harus juga bertanggungjawab sehingga terjadi lagi hal semacam ini karena ada efek jera. “Jadi jika lembaga ini dicabut izinnya adalah sebuah kewajaran,” tegasnya.
Tapi bukan berarti kegiatan pendidikan di lembaga atau pesantren yang izinnya dicabut tersebu tidak bisa berjalan. Bisa menggunakan nama lain ataupun bekerja sama dengan institusi lain. Aset lembaga tetap bisa dipergunakan untuk lembaga pendidikan dibawah pengelola baru ataupun dibawah nama lembaga yang baru.
“Dan masyarakat tidak boleh menstigma bahwa pesantren adalah tempat terjadinya pelecehan-pelecehan asusila semacam ini. Ini terjadi diberbagai lembaga pendidikan yang dilakukan oleh oknum,” tutupnya. (her/fat)