Surabaya (pilar.id) – Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai biaya wajib mahasiswa di perguruan tinggi sering menjadi beban, terutama saat pembayaran melebihi kemampuan finansial.
Baru-baru ini, Institut Teknologi Bandung (ITB) memutuskan untuk memfasilitasi pembayaran UKT melalui Pinjaman Online (Pinjol) melalui PT Inclusive Finance Group atau Danacita. Meski diharapkan sebagai solusi, keputusan ini menimbulkan kontroversi di kalangan mahasiswa dan masyarakat.
Dr Imron Mawardi SP Msi, pakar Ekonomi Syariah dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair), memberikan tanggapan kritis terhadap solusi ini. Meskipun memberikan bantuan awal, dia menyatakan bahwa solusi jangka pendek ini dapat mengakibatkan mahasiswa terperangkap dalam utang yang tinggi karena bunga pinjaman yang fantastis.
“Memberikan pinjaman dengan bunga kepada mahasiswa yang mengalami kesulitan finansial justru akan menyulitkan mereka. Utang yang harus dibayar malah menjadi lebih besar,” ungkap Dr Imron.
Bunga yang dikenakan oleh Danacita dinilainya sangat tinggi, mencapai sekitar 1,75 persen flat per bulan atau setara dengan 21 persen per tahun. Jika bunga flat tersebut dihitung sebagai bunga efektif, mirip dengan bunga kredit pemilikan rumah (KPR), yang setara dengan 42 persen. Dr Imron menilai angka ini tiga kali lipat lebih tinggi dari bunga KPR.
“Pinjol bisa memberikan nilai baik, tetapi tidak untuk mahasiswa yang mengalami kesulitan. Pinjaman semacam itu lebih cocok bagi pekerja yang ingin meningkatkan pendidikan mereka, bukan untuk mahasiswa yang kesulitan membayar UKT,” jelas dosen FEB Unair.
Dr Imron menyatakan seharusnya perguruan tinggi dapat menawarkan solusi tanpa bunga, seperti skema pembayaran dengan cicilan. Kolaborasi dengan lembaga sosial juga dapat menjadi alternatif yang lebih baik, memberikan bantuan kepada mahasiswa yang membutuhkan.
“Di Unair, mahasiswa dapat mengajukan angsuran pembayaran UKT tanpa bunga. Kami juga memiliki Pusat Pengelolaan Dana Sosial (Puspas) yang membantu mahasiswa dan staf dengan sumber dana dari sumbangan alumni, orang tua, dan masyarakat,” tambahnya.
Sebagai solusi lain, Dr Imron menyarankan penggunaan dana pendidikan yang bersifat abadi yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). LPDP, dengan dana mencapai Rp140 triliun, dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan tanpa memberatkan mahasiswa. (usm/hdl)