Jakarta (pilar.id) – Kasus pembunuhan bocah SD berusia 11 tahun di Makassar yang hendak dijual organ dalamnya mendapat perhatian dari Pakas Psikologi Klinik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Margaretha.
Menurut Pakar Psikologi Uniar, Margaretha, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh dua remaja yakni, AD 17 tahun dan MF 14 tahun hanya titik puncak gunung es. Hal itu, disamapikan Margaretha setelah melakukan kajian psikologi forensik terhadap kasus pembunuhan tersebut.
Margaretha yang merupakan pakar psikologi menyebut bahwa kasus pembunuhan anak SD untuk diambil organ dalam tersebut perlu mendapat perhatian khusus. Terutama terkait dengan pasar gelap jual-beli organ manusia.
Karena itu, pemerintah harus segera bertindak menghentikan ruang pasar gelap organ manusia yang sudah ada atau sedang dikembangkan di Indonesia.
“Jangan sampai kita menjadi penyumbang terbesar tanpa kita ketahui dan kita tidak dapat melakukan kontrol sama sekali,” kata Margaretha, Senin (16/1/2023).
Menurut Margaretha, motif pelaku melakukan perbuatan tersebut dikarenakan dua hal. Pertama, faktor kerentanan perkembangan psikologis sebagai remaja.
Sehingga, terjadi pengambilan keputusan yang salah, dan yang kedua impulsif, serta adanya kemungkinan tersangka memiliki ciri kepribadian antisosial.
“Ciri kepribadian antisosial adalah orang-orang yang mau menyakiti orang lain, tapi kurang rasa bersalahnya demi mencapai tujuan awal,” kata Margaretha.
Margaretha mengatakan, kepribadian itu muncul sebagai ekspresi genetik, tapi dapat dimanifestasi jika didukung oleh lingkungan.
Lingkungan tempat berkembang yang norma benar atau salahnya masih ‘bengkok’, menjadi salah satu tanda munculnya kepribadian tersebut.
“Selain itu, mereka cenderung kurang matang dalam memahami emosi, dan kurang adanya monitoring sehingga pemberian konsekuensi atas perilakunya juga tidak maksimal,” sambungnya,
Alumnus Master of Research (Developmental Psychopathology) Universiteit Utrect, Belanda itu menuturkan, dari segi usia dan pelanggaran yang dilakukan, kedua tersangka perlu diberi pidana sesuai hukum yang berlaku.
Sehingga, kejahatan yang telah dilakukan dapat menjadi upaya korektif bagi keduanya.
Namun, Margaretha juga menekankan pentingnya menerapkan rehabilitasi kepada para pelaku.
Tujuan dari rehabilitasi tersebut, agar kedua remaja tersebut memahami moralitas dan kapasitas hidup sebagai manusia bermoral.
“Jika mereka benar memiliki ciri kepribadian antisosial, maka harus ada pendampingan ekstra karena jika tidak, keduanya dapat berpotensi untuk melakukan kejahatan serupa atau kejahatan lainnya,” ungkap Margaretha.
Tidak hanya rehabilitasi secara moral, Margaretha juga mengungkap pentingnya rehabilitasi agar remaja mengetahui cara penyelesaian masalah yang benar.
Sebab, remaja dengan kerentanan pengembangan psikologis biasanya melakukan kejahatan ketika stres sehingga mereka harus dibantu agar mempunyai kemampuan penyelesaian yang lebih baik dan adaptif. (ach/fat)