Jakarta (pilar.id) – Sistem proporsional tertutup dinilai akan menghidupkan oligarki di dalam partai politik. Pasalnya, oligarki politik relatif mendapatkan hambatan untuk tumbuh melalui sistem proporsional terbuka.
“Tertutupnya kompetisi antara sesama kader juga melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah,” ujar Anggota Komisi II DPR Yanuar Prihatin, di Jakarta, Rabu (4/1/2022).
Yanuar menuding pihak yang mengusulkan sistem proporsional tertutup hanya ingin membawa musibah dan kecelakaan dalam demokrasi. Ia khawatir, jika Mahkamah Konstitusi (MK) turut melegalisasi sistem tersebut akan dimanfaatkan oleh kader partai politik yang berjiwa oportunis, elitis, dan tidak mampu berkomunikasi dengan publik.
Politikus PKB itu juga menilai, sistem pemilu proporsional tertutup berpotensi menutup kompetisi antar sesama kader dalam satu partai. “Bagi partai politik yang punya tradisi komando yang kuat dan sedikit otoriter, sistem pemilu proposional tertutup ini lebih disukai,” ujar Yanuar.
Oleh karena itu, ia meminta tidak ada satu pihak pun yang bermain-main dengan sistem kepemiluan yang sudah ada di Indonesia. Ia tak ingin, kegairahan dan partisipasi politik rakyat yang sudah terjadi melalui sistem pemilu proporsional terbuka, hilang karena sistem Pemilu tertutup.
“Kita semua sudah berinvestasi besar untuk menumbuhkan kegairahan dan partisipasi politik rakyat,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengungkapkan, mayoritas fraksi di DPR RI sepakat ingin Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka. Selain itu, mayoritas fraksi di DPR juga meminta MK mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.
“Hasil dari komunikasi kami itu, mayoritas fraksi sepakat di Pemilu 2024 mendatang tetap menggunakan sistem proporsional terbuka sesuai UU no 7 tahun 2017,” ujar Doli.
Sebagaimana diketahui, belakangan, muncul wacana mengembalikan sistem proporsional tertutup untuk pemilihan legislatif (pileg). Wacana tersebut muncul ketika ada beberapa pihak yang mengajukan judicial review atau uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah ke MK.
Para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri.
Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai. (ach/hdl)