Jakarta (pilar.id) – Publik kembali disuguhkan ketidakkompakan menteri koordinator bidang ekonomi di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sesama menteri koordinator tidak kompak mengenai waktu penerapan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar.
Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bilang bahwa harga Pertalite dan Solar akan naik pekan ini. Namun, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bilang bahwa harga penerapan kenaikan harga bahan bakar minyak BBM subsidi tidak akan naik di kuartal III-2022.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan bahwa desas desus kenaikan harga Pertalite dan Solar sudah sejak lama digaungkan. Mulai dari Presiden Jokowi, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, hingga Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurutnya, isu yang dilempar ke publik ihwal rencana kenaikan harga BBM subsidi berantakan. Fahmy menilai, komunikasi yang dilakukan pejabat negara kepada publik sangat jelek. Selain melempar isu yang belum pasti, antarsesama menteri tidak memiliki kesamaan suara.
“Saya kira komunikasi yang amat jelek sednag dipertontonkan pejabat kita. Karena mereka melempar isu yang belum ada kepastiannya,” kata Fahmy, Senin (22/8/2022).
Menurut pengamatannya, wacana penyesuaian harga BBM subsidi yang diangkat ke publik, sudah memicu kenaikan harga kebutuhan bahan pokok. Meskipun BBM subsidi belum benar-benar dinaikkan.
“Itu saya katakan, komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah amat sangat jelek. Karena justru memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sebelum BBM subsidi disesuaikan,” tegasnya.
Di sisi lain, Fahmy menyarankan agar pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi pada tahun ini. Karena ia khawatir, justru akam membuat laju inflasi tak terkendali. Kenaikan harga pertalite dan solar yang proporsi jumlah konsumennya di atas 70 persen sudah pasti akan menyulut Inflasi.
Ia menyadari bahwa beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk subsidi energi semakin membengkak hingga mencapai Rp502,4 triliun, bahkan bisa mencapai di atas Rp600 triliun kalau kuota pertalite ditetapkan sebanyak 23 ribu kilo liter akhirnya jebol.
Meski demikian, kalau harga pertalite dinaikkan hingga mencapai Rp10.000 per liter, menurut dia, kontribusi terhadap inflasi diperkirakan mencapai 0,97 persen sehingga inflasi tahun berjalan bisa mencapai 6,2 persen (year on year/yoy).
Dengan inflasi sebesar itu, kata dia, akan memperburuk daya beli dan konsumsi masyarakat sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,4 persen.
“Agar momentum pencapaian ekonomi itu tidak terganggu. Pemerintah sebaiknya jangan menaikkan harga pertalite dan solar pada tahun ini,”ujarnya.
Menurut Fahmy, pemerintah sebaiknya fokus pada pembatasan BBM bersubsidi yang sekitar 60 persen tidak tepat sasaran itu.
Penerapan MyPertamina, menurut dia, tidak akan efektif membatasi BBM agar tepat sasaran, bahkan menimbulkan ketidakadilan dengan penetapan kriteria mobil 1.500 CC ke bawah yang berhak menggunakan BBM subsidi.
Pembatasan BBM subsidi paling efektif untuk saat ini, ujar Fahmy, adalah menetapkan kendaraan roda dua dan angkutan umum yang berhak menggunakan Pertalite dan Solar.
Dengan demikian, di luar sepeda motor dan kendaraan umum, konsumen harus menggunakan Pertamax ke atas. “Pembatasan itu, selain efektif juga lebih mudah diterapkan di semua SPBU,” jelasnya.
Ditambahkannya kriteria sepeda motor dan kendaraan umum yang berhak menggunakan BBM subsidi segera saja dimasukkan ke dalam Perpres Nomor 191 Tahun 2014 sebagai dasar hukum.
“Ketimbang hanya melontarkan wacana kenaikan harga BBM subsidi, pemerintah akan lebih baik segera mengambil keputusan dalam tempo sesingkatnya terkait solusi yang diyakini pemerintah paling tepat tanpa menimbulkan masalah baru,” tutup Fahmy. Fabbm