Jakarta (pilar.id) – DPD RI mendorong penguatan otonomi daerah (otoda) melalui amandemen Undang Undang Dasar 1945. Namun, kewenangan lembaga tersebut sangat terbatas. DPD RI hanya bisa mengusulkan rancangan undang undang, tetapi tidak bisa mengesahkannya.
“Kita perlu strategi, yang ideal itu apa? Menurut saya mengubah konstitusi,” kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abdurrahman Abubakar Bahmid, di Jakarta, Kamis (12/1/2022).
Selain memperjuangkan kewenangan DPD yang terbatas tersebut, Bahmid mengatakan, ada dua pasal penting yang perlu direvisi terkait otonomi daerah. Pertama, Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Kemudian, pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang¬undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal ini memungkinkan pemerintah pusat untuk menarik semua kewenangan daerah.
“Jadi pasal ini sangat mengunci. Kewenangan otonomi daerah itu perlu ada sesuatu yang jelas. Jangan sampai kewenangan seperti di pasal 18 ayat 5, menjadi tidak jelas. Apa sih yang boleh ditarik pemerintah pusat, dan apa yang tidak boleh ditarik pemerintah pusat,” kata Bahmid.
Bahmid mengaku optimistis, perjuangan tersebut akan membuahkan hasil. Menurutnya, dalam hal politik tak ada yang mustahil, meskipun peluangnya sangat kecil.
“Karena itu, kita perlu berteman baik dengan tokoh-tokoh muda, dengan mahasiswa, dengan pakar. Karena mereka yang bisa melakukan tekanan publik kepada pemerintah,” kata Bahmid.
Sementara itu, pengamat politik Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Prof Siti Zuhro mengatakan, pihaknya turut menyiapkan materi amandemen kontitusi terkait kewenangan DPD RI. Namun, hingga saat niatan tersebut belum membuahkan hasil.
“Tapi kelihatannya belum juga ada amandemen konstitusi. Kita berharap, mungkin setelah pemilu 2024, segera setelah pemilu itu harus ada amandemen,” kata dia.
Menurut Zuhro, DPD merupakan representasi dari daerah. Jika DPR RI mewakili rakyat, maka DPD RI mewakili daerah. Menurutnya, DPD merupakan metamorfosa dari utusan daerah.
“Jadi, kalau dulu saya argumentasinya, ini hasil ‘kecelakaan’ DPD ini. Lahirnya seolah-olah dipaksakan, karena setelah lahir dipayungi dengan ogah-ogahan,” kata dia.
DPD RI yang tidak punya otoritas untuk melakukan fungsi legislasi patut disayangkan. Padahal, menurut Zuhro, sebagai lembaga perwakilan seharusnya memiliki fungsi legislasi, cek and balances, dan budgeting.
“Tapi yang sangat krusial posisinya untuk legislasi sebetulnya. Nah ini yang tidak dimiliki, ini yang masalah” kata dia. (ach/fat)