Jakarta (pilar.id) – Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama turut menyoroti gangguan ginjal akut misterius yang menjangkit 131 anak di 14 provinsi.
Ia mendesak agar pemerintah untuk segera menelusuri apa yang sebenarnya terjadi. Dikarenakan penyebab pasti gangguan ginjal akut misterius sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
“Langkah yang konkrit adalah kita mencari tahu dulu itu apa sebenarnya, karena kalau kita belum tahu sebenarnya, maka langkah berikutnya belum akan terlalu jelas. Jadi, saya kira akan bagus sekarang ada berbagai pihak baik profesi maupun juga Kementerian Kesehatan mencari tahu apa masalah itu, ada data yang lengkap, dan apa hubungannya dengan yang lain,” ujar Tjandra dalam keterangannya, Kamis (13/10/2022).
Pria yang juga menjadi Direktur Pascasarjana Universitas YARSI ini mengaku sudah menghubungi beberapa rekannya yang bertugas sebagai dokter anak.
Ia berharap, kasus ini dapat dianalisa terlebih dahulu sebelum mengambil kesimpulan, termasuk dugaan kekhawatiran kasus serupa seperti yang terjadi di Gambia, Afrika Barat, yakni 69 anak mengalami gagal ginjal akut usai mengonsumsi sirup paracetamol.
“Isunya bukan hanya masalah klinik, jadi isunya kalau ada penyakit baru, mau ginjal, mau apapun juga, pertama memang ada kliniknya, artinya aneh, baru gitu, kemudian dicari penyebabnya, tapi yang berikutnya juga adalah bagaimana dampak terhadap di sekitarnya, apakah ada dampaknya, apakah ada hubugan dengan lingkungan. Semua itu mesti dikumpulkan datanya dulu sebelum kesimpulan nanti diambil,” tutur Prof Tjandra.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat 131 kasus gangguan ginjal akut misterius sejak awal Januari 2022, pasien tersebar di 14 provinsi.
Gangguan ginjal akut misterius atau disebut dengan acute kidney injury (AKI) progresif atipikal yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia hingga saat ini belum diketahui penyebabnya (unknown origin).
Sejauh ini IDAI mencatat kasus gangguan ginjal misterius tersebut, terutama kasus di Jakarta, banyak terjadi pada anak di bawah usia lima tahun. Namun, kata Eka, ada juga pasien di luar Jakarta yang berusia belasan tahun. (her/hdl)