Jakarta (pilar.id) – Indeks Integritas Nasional Indonesia 2022, yang merupakan hasil dari Survei Penilaian Integritas (SPI) 2022, mencapai 71,9 poin, sedikit di bawah target 72 poin. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia masih rentan terhadap tindak korupsi.
Dalam survei tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengungkap bahwa 1 dari 4 responden masyarakat pengguna layanan/vendor mengaku pernah memberikan suap/gratifikasi atau menjadi korban pungutan liar (pungli).
Survei ini juga menunjukkan bahwa pegawai berusia 41 hingga 50 tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak menerima suap, gratifikasi atau melakukan pungli, sementara responden yang paling banyak menjadi korban pungli berada pada rentang usia 21 hingga 30 tahun.
“Pada saat melihat data tersebut, KPK mendorong adanya digitalisasi dan transparansi dalam layanan publik. Saat ini, KPK juga sedang mendorong digitalisasi di sektor pelabuhan,” ungkap Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (11/7/2023).
Pahala juga menyoroti bahwa pengadaan barang/jasa hingga saat ini masih belum menunjukkan peningkatan sejak survei dilakukan. “Bahkan pengadaan barang/jasa pada tingkat pusat saat ini lebih buruk daripada di daerah. Begitu pula dengan praktik jual/beli jabatan, belum terlihat perbaikan yang signifikan dalam mengurangi kondisi tersebut,” ujar Pahala.
Menurut Pahala, aspek yang paling tertinggal dalam tiga kali SPI yang telah dilakukan oleh KPK adalah partisipasi masyarakat, baik dalam mengisi atau terlibat dalam survei, maupun partisipasi dalam melihat hasil survei SPI, terutama SPI daerah.
“Masyarakat perlu memiliki kritisitas yang utama, didukung oleh media, terkait skor SPI dan rencana perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah. Hingga saat ini, hanya 40 persen Kementerian Lembaga dan Pemerintah Daerah (KLPD) yang telah mengirimkan rencana tindak lanjut berdasarkan hasil SPI 2022 yang sedang dimonitor oleh KPK,” ungkapnya.
Untuk SPI 2023, KPK akan mulai mengirim pesan WhatsApp pertama pada tanggal 17 Juli kepada responden. KPK percaya bahwa semakin banyak yang merespons survei, maka data yang diperoleh akan semakin baik, dan pengambilan kebijakan atau sistem untuk pencegahan korupsi akan menjadi lebih tepat.
“Tentang apakah skor SPI tinggi atau rendah, jangan digunakan sebagai ukuran. SPI ini mirip dengan cermin. Ketika kita melihat cermin, kita akan melihat bagaimana tampilan kita dan di mana kekurangannya. Jadi, itu hanya memberikan gambaran dan rekomendasi perbaikan. Hal tersebut hanya dapat terjadi jika masyarakat berpartisipasi penuh, termasuk media dalam menyebarkan hasil survei ini. Ketika Anda dipilih sebagai sampel, segera berpartisipasi karena itu merupakan kontribusi nyata Anda dalam upaya pemberantasan korupsi,” terangnya. (hdl)