Jakarta, (pilar.id) – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
MK dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, secara substansial ketentuan pasal tersebut telah mengakomodir keinginan Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas fungsi Dewan Pers.
“Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman, di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Uji materi tersebut diajukan oleh Moch Ojat Sudrajat yang mempersoalkan konstitusionalitas fungsi Dewan Pers dalam memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
MK berpendapat, untuk memahami secara komprehensif ketentuan Pasal 15 ayat huruf d UU Pers, tidak dapat dipisahkan dari norma-norma lainnya.
Norma tersebut berkelindan dengan fungsi Dewan Pers lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e UU Pers yang pada pokoknya menyatakan fungsi Dewan Pers adalah mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
Fungsi ini juga merupakan bagian dari upaya Dewan Pers mewujudkan ketentuan peran serta masyarakat yang dijamin dalam Pasal 17 UU Pers.
Peran masyarakat yang dimaksud dapat berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Bahkan, dalam rangka pemantauan tersebut masyarakat dapat membentuk lembaga organisasi pemantau media (media watch).
Dalam konteks ini, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan, hak masyarakat memantau pemberitaan pers tersebut merupakan bagian dari fungsi kontrol yang dilakukan melalui kegiatan yang dapat menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
Karena, UU Pers telah memberikan jaminan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Oleh karenanya, dalam melaksanakan fungsi kontrol publik tersebut, masyarakat dapat mengusulkan dan memberikan saran kepada Dewan Pers agar dapat menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Pemantauan atau kontrol publik penting untuk dilakukan sebagai wujud membangun keseimbangan dengan kewajiban pers nasional yang memberitakan peristiwa dan opini kepada publik dengan tetap menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah.
“Oleh karena itu, berkaitan dengan norma Pasal 5 ayat (1) UU Pers dijelaskan lebih lanjut bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang. Terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut,” jelas Manahan.
Dalam kaitan dengan pertimbangan hukum di atas menjadi penting untuk menegaskan mengenai arti fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam “Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers yang memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dalam konteks ini, lanjut Manahan, untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
“Hak tolak yakni hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya,” kata dia.
Oleh karena itu, berkaitan dengan fungsi Dewan Pers dalam memberikan pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat tersebut dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Hak jawab dan hak koreksi dimaksud sesungguhnya merupakan bagian dari kontrol publik yang dijamin oleh UU Pers.
“Oleh karenanya, menjadi bagian kewajiban pers untuk melayaninya, yakni melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini atau gambar yang tidak benar, yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan,” jelas hakim MK. (ach/hdl)