Jakarta (pilar.id) – Tahun depan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan digabung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Alasan Ditjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah untuk memperkuat integrasi data.
Pakar hukum dari Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad ikut berkomentar akan hal itu. Dia menilai, penggabungan NIK dan NPWP merupakan suatu terobosan yang sangat baik. Dengan demikian, ia tidak melihat adanya sesuatu hal yang berkaitan dengan hukum.
“Secara admistratif single identity number atau satu identitas untuk semua urusan publik, memudahkan pemerintah untuk menaikan tax ratio. Disamping itu data kependudukan menjadi rapih dan tidak membingungkan warga negara,” kata Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini kepada Pilar.id, Senin (23/5/2022).
Adapun, penguatan ini dilakukan melalui penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) terkait dengan pemanfaatan NIK, data kependudukan, dan KTP elektronik dalam layanan DJP. Adendum PKS yang sudah ditandatangani sejak 2018 ini mencakup penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi.
“Perjanjian ini merupakan adendum dari perjanjian kerja sama sebelumnya yang telah ditandatangani 2 November 2018 yang bertujuan untuk memperkuat integrasi data antara DJP dan Ditjen Dukcapil, utamanya terkait NIK dan NPWP,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
Selain terkait dengan UU HPP, adendum juga menjadi amanat Perpres 83/2021. Melalui adendum ini, DJP dan Ditjen Dukcapil akan mengintegrasikan data untuk mempermudah wajib pajak mengakses dan menerima layanan perpajakan sekaligus mendukung kebijakan satu data Indonesia.
Neilmaldrin mengatakan, integrasi data kependudukan dan perpajakan juga akan makin memperkuat upaya penegakan kepatuhan perpajakan. Data kependudukan merupakan data sumber yang digunakan banyak instansi dan lembaga pemerintahan maupun nonpemerintah, sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan kepatuhan perpajakan.
Selain mengenai penandatanganan PKS antara Ditjen Pajak dan Ditjen Dukcapil terkait dengan integrasi data, ada pula bahasan mengenai penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2023.
Sementara itu, Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrulloh mengatakan pelayanan publik di Indonesia harus mengarah pada single sign-on (SSO). Masyarakat seharusnya tidak perlu repot mengisi banyak formulir atau aplikasi. Cukup mengisi satu aplikasi pendaftaran.
Dengan SSO pengguna tidak perlu mengingat banyak username dan password. Cukup dengan satu credential, sehingga pengguna cukup melakukan proses otentikasi sekali saja untuk mendapatkan izin akses terhadap semua layanan aplikasi yang tersedia di dalam jaringan.
“Ini paling nyaman bagi semua. Apabila data terintegtasi, pemerintah akan menghemat biaya server dan storage triliunan rupiah. Bagi lembaga pengguna boleh melakukan verifikasi dan validasi NIK, tetapi tidak perlu menyimpan data,” kata Zudan. (her/din)