Surabaya (pilar.id) – Musim penghujan membawa permasalahan serius terkait keberadaan nyamuk Aedes aegypti, yang dapat menjadi pembawa virus penyakit demam berdarah.
Untuk menekan angka kejadian demam berdarah, pemerintah telah mengambil berbagai langkah, salah satunya dengan menyebarkan nyamuk Wolbachia. Namun, upaya ini menjadi perdebatan di kalangan masyarakat.
Dalam menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Aryati dr MKes SpPK(K), memberikan tanggapannya. Ia menjelaskan bahwa penelitian mengenai nyamuk Wolbachia telah melewati fase panjang dan sudah dimulai sejak tahun 2011. “Perjalanan Wolbachia ini sudah berlangsung lama sejak 2011,” ungkapnya.
Dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (7/12/2023), Prof Aryati telah bergabung sebagai bagian dari Tim Ahli Kajian Risiko Wolbachia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sejak 2016.
Aksi pemerintah dalam program Applying Wolbachia to Eliminate Dengue (AWED) dimulai pada 2017. Analisis terkait respons masyarakat terhadap nyamuk Wolbachia telah dipertimbangkan sejak awal. “Analisis soal kemungkinan terjadinya perdebatan oleh masyarakat sudah terpikirkan sejak dulu,” katanya.
Meski demikian, proses pemantauan terhadap nyamuk Wolbachia masih berlangsung hingga saat ini. Selain Indonesia, negara-negara lain seperti Australia, Brazil, Colombia, El Salvador, Sri Lanka, Honduras, Laos, Vietnam, Kiribati, Fiji, Vanuatu, New Caledonia, hingga Meksiko telah menggunakan inovasi nyamuk ini.
Wolbachia adalah bakteri alami yang ditemukan pada serangga seperti kupu-kupu, lalat, dan lebah. Bakteri ini merupakan salah satu teknologi biologis untuk mengendalikan nyamuk pembawa demam berdarah. “Tapi yang paling terkenal kandungan Wolbachia ada di lalat buah drosophila melanogaster,” jelas Prof Aryati.
Keunikan nyamuk Wolbachia terletak pada siklusnya yang berbeda saat melakukan perkawinan. Jika nyamuk Wolbachia jantan kawin dengan nyamuk Aedes aegypti betina yang tidak mengandung Wolbachia, maka tidak akan ada telur yang menetas. “Nyamuknya jadi mandul ya, tidak bisa menghasilkan keturunan,” paparnya.
Sementara itu, nyamuk Wolbachia betina yang kawin dengan nyamuk Aedes aegypti jantan yang tidak mengandung Wolbachia akan menghasilkan telur dengan gen Wolbachia. “Sama halnya kalau nyamuk Wolbachia jantan dan betina yang kawin, mereka akan menghasilkan telur yang menetas dan berwolbachia,” tambahnya.
Setelah melalui penelitian yang panjang, terbukti bahwa keberadaan nyamuk Wolbachia mampu menurunkan kasus demam berdarah sebesar 77,1 persen. Jumlah perawatan di rumah sakit akibat demam berdarah juga mengalami penurunan sebanyak 86 persen.
Meskipun menjadi bahan perdebatan, keberadaan nyamuk Wolbachia ternyata memiliki manfaat yang beragam. Bakteri pada nyamuk ini tidak dapat menginfeksi manusia. “Bakterinya tidak mungkin pindah, karena bakteri hanya berada pada tubuh nyamuk saja. Kalau tergigit nyamuk Wolbachia tidak akan menyebabkan manusia sakit,” ungkap Prof Aryati.
Nyamuk Wolbachia tidak berdampak pada jumlah populasi nyamuk Aedes aegypti. Namun, kehadiran nyamuk ini dapat menekan penyebaran virus dengue yang dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Prof Aryati menegaskan bahwa nyamuk ini merupakan pelengkap dari program 3M Plus yang diterapkan pemerintah. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir terhadap keberadaan nyamuk Wolbachia. “Masyarakat tidak perlu khawatir. Kalau terlanjur tergigit tidak apa-apa, karena bakteri nyamuk tidak berpindah ke manusia,” tutupnya. (ipl/hdl)