Jakarta (pilar.id) – Pengendapan dana di bank yang dilakukan pemda ternyata memiliki motif tersendiri. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai, salah satunya motif pemda mengendapkan dananya di bank ialah karena ingin mendapatkan bunga yang besar.
“Pemda dengan sengaja mengendapkan anggarannya di bank untuk mendapatkan bunga. Itu salah satu motifnya,” kata Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman kepada Pilar.id, Kamis (23/12/2021).
Motif lain pemda menunda belanja daerah, kata Armand, karena faktor pandemi. Daerah lebih hati-hati mengeluarkan anggaran karena dikhawatirkan angka covid-19 melonjak dan membutuhkan uang yang banyak.
Lebih jauh, Armand bilang, persoalan dana mengendap di bank menjadi persoalan setiap tahun, bukan hanya tahun ini saja. Bahkan, dari tahun ke tahun itu jumlahnya terus membengkak.
Selain masalah motif pemda, dia juga melihat bahwa serapan anggaran yang tidak maksimal disebabkan oleh permasalahan struktural. Apabila melihat alur penyusunan APBD hingga pengesahan APBD itu memakan waktu yang cukup kama.
Ketika APBD disahkan di Desember, proses juklak juknis akan masuk di Januari hingga Maret. Kemudian proses lelang baru terealisir dengan kontrak dan sebagainya bisa memakan waktu hingga pertengahan tahun. Nah, dana bari bisa dicairkan atau diserap Juli hingga Desember.
“Dengan begitu, tidak heran kalau serapan anggaran di semester pertama sangat kecil dibanding semeter kedua. Padahal di semester kedua dibatasi hanya sampai Desember,” kata dia.
Oleh sebab itu, agar persoalan tersebut tidak terulang kembali, ke depan perlu diperbaiki atau dipercepat alur penyusunan APBD. Setelah itu, pemerintah pusat harus memberikan sanksi kepada pemda yang masuk ke dalam kategori lambat dalam menyalurkan atau merealisasikan anggarannya.
Sanksi yang bisa diambil pemerintah pusat bisa saja dengan menunda dana transfer pemda atau pemerintah menentukan batas maksimal dana yang mengendap di bank. Sanksi yang ada itu diharapan tidakbuat daerah seenaknya untuk mengendapkan dananya di bank.
“Pusat selalu mendorong paradigma money follow the program, ini sangat sulit diterapkan karena pemda sulit menetapkan strategi fokus. Hampir semua program dijalankan pemda, tapi tidak diikuti dengan peningkatan kualitas belanja. Di sini pusat harus mengambil langkah tegas,” ujar Armand.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian melakukan pemantauan simpanan kas pemerintah daerah (Pemda) di perbankan bersama Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Farida Peranginangin.
Tercatat terdapat 10 pemerintah provinsi yang diundang dalam kegiatan tersebut. 10 daerah itu dinilai memiliki jumlah simpanan yang cukup tinggi di perbankan, yakni DKI Jakarta dengan simpanan sebesar Rp12,953 triliun, Aceh sebanyak Rp4,426 triliun, Papua sebanyak Rp3,829 triliun, Jawa Timur sebanyak Rp2,751 triliun, Jawa Barat sebesar Rp2,566 triliun, Kalimantan Timur sebesar Rp2,070 triliun, Papua Barat sebesar Rp1,947 triliun, Riau sebesar Rp1,426 triliun, Sumatera Utara sebesar Rp1,128 triliun, dan Jawa Tengah sebesar Rp1,028 triliun.
Ia menyampaikan, simpanan kas daerah di perbankan membuat realisasi belanja menjadi berkurang dan terkesan ada dana yang tidak bergerak (idle), apalagi ada dana yang didepositokan.
“(Kami) ingin mendapat masukan klarifikasi dari rekan-rekan gubernur. Kita sengaja mengundang 10 gubernur karena ini memang yang kita lihat datanya simpanannya relatif terbesar dari 34 provinsi yang ada,” kata Tito, kemarin. (her)