Jakarta (pilar.id) – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia terkait pengujian Undang Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam pokok permohonannya, Partai Gelora mendalilkan pasal 167 ayat (3), dan pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945 terkait model keserentakan dalam penyelenggaraan pemilu.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan, penolakan MK atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan. Pada prinsipnya, kata dia, Partai Gelora ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kadaluwarsa.
“Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara,” katanya.
Menurut Anis, gugatan ini juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0% yang juga ditolak oleh MK, Kamis (7/7/2022) kemarin. Karena itu, saat ini Partai Gelora masih mempelajari putusan MK tersebut sambil bersiap mengajukan gugatan kembali.
“Kami sedang mempelajari kemungkinan mengajukan gugatan kembali,” kata Anis.
Koordinator kuasa hukum Partai Gelora Said Salahudin menilai gugatan Partai Gelora tidak dibantah oleh Mahkamah, tapi ditolak dalam putusannya. Menurut Said, alasan penolakan MK karena belum terpenuhi syarat keadaan mendesak lebih bersifat politik, bukan alasan hukum
“Dalil dan argumentasi dalam permohonan kami tidak ada yang dibantah. Tetapi MK menyatakan permohonan ditolak,” kata Said Salahudin.
Ditambahkan Said, walaupun norma dalam pasal 167 ayat (3) dan pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur mengenai Pemilu Serentak sebelumnya pernah diuji beberapa kali oleh pemohon lain.
Tetapi, MK tegas menyatakan bahwa batu uji dan alasan konstitusional yang didalilkan Partai Gelora sangat berbeda sehingga permohonan pemohon diterima dan tidak dinyatakan ‘nebis in idem‘. Selain itu, tidak ada satupun dalil, argumentasi hukum, serta alat bukti yang diajukan oleh Partai Gelora dimentahkan oleh MK.
“Tentang dalil pemohon bahwa Pemilu Serentak yang menggabungkan pileg dan pilpres tidak efektif dalam penguatan sistem presidensial juga tidak dibantah MK,” katanya.
Sehingga secara tidak langsung MK mengakui bahwa berkaca dari hasil Pemilu 2019, tujuan dari pemilu serentak yang dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial ternyata memang tidak terbukti. Masalahnya kemudian, MK menyatakan permohonan ditolak.
“Ini jadi kebingungan kami yang pertama. Semua dalil dan argumentasi tidak dibantah, tetapi permohonan dinyatakan ditolak,” kata dia.
Karena itu, Said melihat dalam memutus perkara ini, MK prematur membuat kesimpulan. Sebab, MK tidak pernah memberikan kesempatan kepada Partai Gelora untuk menghadirkan saksi dan ahli. “Para hakim konstitusi sudah langsung memutus perkara saja,” sambungnya. (ach/fat)