Maluku (pilar.id) – Bulan Ramadhan selalu menyuguhkan suasana semarak dari pagi hingga pagi lagi. Hal ini bisa dirasakan hampir di seluruh daerah di Indonesia yang memiliki komunitas masyarakat muslim.
Suasana semarak berupa lantunan ayat-ayat al-Qur’an yang berkumandang dari masjid dan mushola, puji-pujian setiap waktu shalat, sampai beragam tradisi dan budaya ronda malam untuk membangunkan para muslim untuk sahur di waktu dini hari.
Jika di sebagian daerah biasanya melakukan ronda malam untuk membangunkan sahur dengan cara menabuh kentongan, ada juga yang berkeliling desa dengan membawa tumpukan sound system yang melantunkan berbagai macam lagu.
Maka, di Negeri Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku, cara merondanya lebih menarik dan unik dari kabanyakan daerah. Tradisi yang diberi nama Hadrat ini berupa lantunan zikir, puji-pujian yang dinyanyikan dengan iringan tabuhan rebana.
Hingga hari ini, tradisi ini masih terus dilestarikan oleh masyarakat di Negeri Hila. Para pegiat Hadrat, biasanya akan berangkat pada tengah malam sekira pukul 01.45 WIT dini hari. Lebih menarik lagi, karena para pegiat Hadrat ini akan berangkat berkeliling dengan pakaian yang seragam, baju putih.
Mereka akan berkeliling kampung membangunkan para umat muslim untuk sahur, sembari menyanyikan berbagai macam zikir dengan iringan rebana. Baru pada pukul 03.30 WIT, rombongan Hadrat ini akan mengakhiri perjalanan mereka dengan membawakan lagu penutup berupa pembacaan syair bernuansa Ramadhan.
Menurut tokoh adat Negeri Hila, Zulkarnain Ely, selama bulan suci Ramadhan hadrat dilakukan dua kali seminggu.
Ia menuturkan bahwa biasanya pawai hadrat paling ramai pada malam ke-27 Ramadhan atau tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri.
“Tradisi ini memang tidak berbeda jauh dengan membangunkan sahur di daerah lain, namun pendahulu kita membuatnya dengan tujuan agar budaya zikir tetap lestari di kalangan anak muda maupun masyarakat pada umumnya,” katanya.
Ia menuturkan bahwa hadrat merupakan tradisi turun-menurun di Negeri Hila. Beberapa tahun lalu tradisi tersebut sempat tidak bisa dilaksanakan karena para penabuh rebana sudah lanjut usia.
“Tapi kita sudah punya komunitas yang sebagian besar diisi oleh pemuda. Kita ajarkan mereka cara main rebana dan Alhamdulillah di hari ketiga Ramadhan semua bisa sama-sama berpartisipasi untuk melestarikan tradisi ini,” katanya.
“Semoga generasi muda negeri ini tetap menjaga warisan leluhur. Apa yang dibuat leluhur tentu bermakna baik. Hilang tradisi, hilang budaya, berarti hilang jati diri,” demikian Zulkarnain Ely. (fat/antara)