Surabaya (pilar.id) – Adanya penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022, tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022, oleh presiden Republik Indonesia, Joko Widodo
Hal tersebut sampai saat ini, masih menjadi perdebatan dikalangan masyarakat, khususnya mengenai pasal yang berkaitan dengan hari libur dan cuti pekerja.
Menanggapi permasalah tersebut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), Suhariwanto, memberikan penjelasan secara ilmu hukum dari sisi pekerja dan juga perusahaan.
Dalam penilaiannya, ia mengatakan, adanya Perppu yang dikeluarkan Presiden tersebut tepat secara konstitusional, dikarenakan perlu adanya jaminan kepastian hukum bagi pengusaha dan pekerja di tengah kondisi perekonomian global yang tidak stabil di tahun 2023.
“Secara kajian hukum, perppu ini sudah memenuhi konsideran faktual dan yuridis yang sejalan dengan UUD 1945. Masalah ada perbedaan pandangan bisa didiskusikan secara bersama-sama,” ungkapnya.
Selain itu, Dosen Hukum Perburuhan (Tenaga Kerja) ini juga, menyoroti peraturan hari libur dan cuti untuk karyawan yang tertuang dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022, yang menilai, jika ada salah tafsir di masyarakat yang menyebabkan adanya kontroversi tersebut.
“Sama seperti aturan sebelumnya, tidak ada yang dihapus. Kalau perusahaan mempekerjakan karyawan delapan jam dalam satu hari, berarti liburnya tetap dua hari dalam seminggu. Kalau dalam Perppu tidak dituliskan, berarti kembali pada undang-undang sebelumnya. Jadi Perppu ini lebih menguatkan saja,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, bila Perppu tersebut tidak dirombak secara total. Namun hanya mengganti dan mengubah pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. Sehingga, masyarakat perlu membacanya secara menyeluruh agar tidak menimbulkan salah tafsir.
Lebih lanjut, Hari sapaannya ini, mengatakan jika Perppu Nomor 2 tahun 2022, harus dilihat dari sisi pengusaha dan pekerja. Menurutnya, tak masalah bagi perusahaan dan karyawan saling berdiskusi secara internal untuk mengatur Perppu ini secara terperinci dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Meski begitu, PKB harus sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku. Serta Hari menyarankan, jika karyawan seharusnya dapat mengajukan keberatan ke serikat pekerja atau Dinas Ketenagakerjaan Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Apabila karyawan merasa dirugikan.
Pada prosesnya, Hari mengatakan, seperti pihak karyawan dan perusahaan akan dipertemukan untuk mencari solusi agar pelanggaran tidak terulang kembali. Jika perusahaan tetap melanggar, maka Disnaker dapat melakukan penyelidikan apakah dalam pelanggaran ada unsur tindak pidana atau tidak.
“Kalau memang ada permasalahan, mari perjuangkan sama-sama supaya kita semua bisa bekerja dengan nyaman, karena Perppu memiliki jangka waktu untuk disahkan sebagai undang-undang,” pungkasnya. (jel/din)