Jakarta (pilar.id) – Ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Bulan dimana umat muslim diwajibkan menjalankan puasa selama satu bulan penuh.
Di sisi lain, di bulan Ramadhan pula, umat muslim yang menjalani puasa dijanjikan berbagai macam keutamaan.
Mungkin sudah sering terdengar bahwa keutamaan Bulan Ramadhan dibagi menjadi tiga bagaian, 10 hari pertama, 10 hari kedua, dan 10 hari terakhir Ramadhan disebut memiliki keutamaan yang berbeda-beda.
Dimana, pada 10 hari pertama Ramadhan disebutkan memiliki keutamaan berupa rahmat, 10 hari kedua adalah ampunan, dan 10 hari terakhir adalah terbebas dari neraka.
Artinya, 10 hari pertama bulan Ramadhan, Allah membukakan rahmat, dan kasih ke umat manusia terutama pada para umat muslim.
Sedangkan di 10 hari kedua, Allah membukakan pintu pengampunan seluas-luasnya bagi mereka yang hendak bertaubat atau mengakui kesalahan-kesalahan masa lalu untuk kemudian tidak melakukannya kembali.
Dengan dibukakannya pintu ampunan ini, umat muslim dianjurkan untuk banyak-banyak membaca istighfar dan meminta pengampunan kepada Allah, termasuk melalui tindakan dengan banyak beramal dan bersedekah.
10 hari terakhir, adalah terbebas dari api neraka. Seperti yang jamak diketahui, 10 hari terakhir Ramadhan juga jamak disebut sebagai waktu turunnya lailatul qadar.
Dimana umat muslim dianjurkan memperbanyak ibadah agar bisa mencapai lailatul qadar yang nilai ibadahnya sama dengan 1.000 malam.
Pemahaman ini, biasanya disampaikan oleh para da’i di berbagai acara mulai televisi, media sosial, hingga ceramah-ceramah dari masjid ke masjid, atau surau ke surau.
Landasan hadist yang digunakan biasanaya adalah hadits riwayat dari al Baihaqi. Matan hadist tersebut berbunyi:
أوله رحمة، وأوسطه مغفرة، وآخره عتق من النار
Artinya: “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahan adalah ampunan, sedangkan akhirnya adalah terbebas dari neraka”.
Namun, dilansir dari NU Online, hadist ini dinilai sebagai hadits dhoif atau hadist yang jalur sanadnya lemah.
Pendapat tersebut didasarkan dari kitab Jami’ al-Ahadits karangan al-Syuyuthi. Dimana, hadits ini dinilai bermuara para sorang perawi yang berstatus dhaif yakni, Ali bin Zaid bin Jad’an.
Meski begitu, penggunaan hadits ini masih tetap diperbolehkan untuk kepentingan syi’ar. Terutama untuk memotivasi umat muslim menjalani ibadah di bulan suci Ramadhan.
Sebab, penyebaran hadits ini tidak berhubungan dengan akidah dan tidak berhubungan dengan hukum syariat islam seperti halal dan haram.
Melainkan, hanya menyampaikan keutamaan dari hari-hari yang ada di Bulan Ramadhan. Hanya saja, ketika menggunakan hadits dhaif untuk berdakwah, dianjurkan tidak menyebut bahwa asalnya dari Rasulullah dengan menyebut qaala Rasulullah.
Namun, lebih dianjurkan untuk menyebut qila atau ruwiya yang artinya, diriwayatkan atau diceritakan. Sehingga, ucapan tersebut lebih ditekankan pada penyampai riwayat yang juga dinilai dhaif alih-alih langsung ke Rasulullah SAW. (fat)