Jakarta (pilar.id) – Proses persidangan kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) akan memasuki babak akhir pada pekan ini. Mulai Senin hingga Rabu (13-15/2/2023) besok, majelis hakim akan membacakan putusan atau vonis terhadap lima terdakwa yang diadili.
Dosen Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson mengatakan, dakwaan terhadap Ferdy Sambo bersifat kombinasi. Di dalamnya terdapat dakwaan kumulatif pasal 340 KUHP dengan delik pembunuhan berencana.
“Kemudian di dakwaan komulatif pertama itu, ada (dakwaan) alternatifnya, ada pasal 338. Setelah itu, ada dakwaan lain, dakwaan kedua Obstruction of Justice yang dialternatifkan lagi,” papar Febby, di Jakarta, Minggu (12/2/2023).
Dalam dakwaan Obstruction of Justice, pertama berkaitan dengan UU ITE dan menghilangkan barang bukti. Meski demikian, hakim masih akan mendengarkan pembelaan dari terdakwa maupun penasehat hukum, sebelum mereka bermusyawarah untuk menetapkan vonis.
“Nah setelah mendengarkan itu semua, barulah mereka akan bermusyawarah,” kata dia.
Dalam bermusyawarah tersebut, menurut Febby, banyak model yang dilakukan hakim. Mulai dari hakim termuda menuangkan draf dalam amar putusannya. Termasuk membahas tentang alasan pemberat dan yang meringankan terdakwa. “Ada juga ketua majelis hakim yang memulai, kemudian dimusyawarahkan di dalam musyawarah itu,” kata dia.
Menurut Febby, di dalam KUHP tercantum dasar-dasar yang menjadi pemberat dan peringan bagi terdakwa. Beberapa unsur pemberat di antaranya, yaitu tercatat sebagai aparatur sipil negara (ASN), residivis, perbuatannya dipandang sangat kejam. “Nah, itu merupakan faktor pemberat,” katanya.
Sedangkan faktor peringan hukuman, menurut Febby lebih bersifat subjektif. Jika melihat dalam beberapa putusan majelis hakim, biasanya ada beberapa alasan, misalnya terdakwa berlaku sopan selama persidangan, terdakwa menjadi tulang punggung keluarga, alasan melakukan perbuatan tersebut lebih bersifat sosial, dan keadaan ekonomi.
“Itu merupakan faktor-faktor peringan yang sering ada dalam putusan hakim yang dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam memberikan putusannya,” kata Febby.
Menurut Febby, meski hakim mempunyai penilaian subjektif untuk meringankan terdakwa, tetapi tetap mengacu pada parameter yang bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, berdasarkan hasil survei dari 100 hakim yang memaknai sikap sopan, yaitu tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan.
“Jadi mereka menerjemahkan kesopanan itu kooperatif,” kata Febby.
Dalam kasus Sambo, menurut Febby, meskipun jaksa penuntut umum (JPU) hanya menuntut seumur hidup tetapi hakim bisa menjatuhkan vonis hukuman mati. Menurutnya, ada alasan pemberat yang bisa dijadikan rujukan atas vonis tersebut, yaitu pembunuhan berencana, serta berstatus sebagai ASN.
“Yang kedua korbannya banyak, tidak hanya Joshua dan keluarganya. Tapi juga tadi, yang di Obstruction of Justice, bawahan-bawahannya itu korban dia semua kan. Sebenarnya kalau hakim berani, ini bisa hukuman mati,” kata Febby.
Namun, Febby menduga, vonis terhadap Sambo tidak akan sampai hukuman mati. “Ya kalau kita main tebak-tebakan 20 tahun lah,” kata dia. (ach/din)