Jakarta (pilar.id) – PT PLN (Persero) sudah berusia 77 tahun, namun rasio elektrifikasi masih di bawah 90 persen. Karena itu, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, meminta perusahaan plat merah ini dapat menyediakan listrik secara merata, efisien, dan andal.
“Kita mendukung, agar PLN terus berkiprah untuk menerangi negeri,” kata Mulyanto, di Jakarta, Senin (31/10/2022).
Mulyanto berharap, PLN dapat meningkatkan angka rasio elektrifikasi. Sehingga wilayah Indonesia bagian timur, termasuk juga beberapa daerah di pulau Kalimantan dapat menikmati listrik dan penerangan.
Selain itu, PLN perlu melakukan efisiensi agar tarif listrik lebih terjangkau. Menurut politikus PKS itu, listrik PLN memang lebih murah dibanding Singapura, Thailand, Filipina, bahkan Kamboja. Namun, kalau dibandingkan dengan Malaysia, Vietnam atau bahkan Laos, listrik PLN masih jauh lebih mahal.
“Bahkan harga listrik di Malaysia hampir setengah dari harga listrik PLN,” kata Mulyanto.
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia memang menerapkan tarif listrik progresif. Selain itu, mereka juga menerapkan kebijakan tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga lebih murah dibandingkan dengan harga listrik untuk bisnis.
“Di kita, tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga lebih mahal dibandingkan tarif listrik untuk bisnis,” imbuhnya.
Mulyanto berharap, agar PLN dapat terus menjaga keandalan listriknya. Jangan sampai, hanya karena disebabkan pohon Sengon roboh saja, terjadi black-out listrik se-pulau Jawa. “Hal seperti ini jangan sampai terulang,” sambungnya.
Menurut Mulyanto, di usia yang semakin matang ini, PLN harus benar-benar dapat menarik hikmah dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Misalnya saja, karena Pemerintah salah dalam menetapkan asumsi pertumbuhan permintaan listrik (over estimated), maka PLN menjadi korban.
“Sampai hari ini, dampaknya masih terasa berupa over supply listrik dan utang perusahaan yang mencapai Rp600 triliun. Akibatnya, hari ini keuangan PLN tertekan dan kesulitan untuk pendanaan investasi bisnisnya,” imbuuhnya.
PLN, lanjut Mulyanto, diminta tidak sekedar gagah-gagahan dengan produksi listrik yang green, namun mahal. Krisis energi di Inggris, India, dan China baru-baru ini adalah pengalaman yang berharga. Di tengah melambungnya harga gas dan BBM, negara-negara ini menyatakan siap untuk menerapkan green energi, namun ternyata mereka kembali membuka tambang batu bara dan menyalakan PLTU-nya.
“Bagi masyarakat kita, yang penting listrik merata, tarif terjangkau dan tidak byar-pet. Syukur-syukur bisa mendapat listrik yang bersih,” tandasnya. (ach/hdl)