Surabaya (pilar.id) – Debat capres pertama yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Selasa (12/12/2023) malam diharap dapat meyakinkan pemilih untuk menentukan pilihan dalam Pemilu 2024. Namun, harapan ini tidak akan bermakna jika strategi komunikasi politik yang dilakukan tim pemenangan masih berkutat di persepsi tunggal, yakni calon pemilih sebagai objek.
Hal ini diungkapkan oleh Jokhanan Kristiyono, pakar komunikasi dari Stikosa AWS. Ia mengatakan, debat capres hanya akan relevan jika dibarengi dengan strategi komunikasi yang efektif dan relevan dengan calon pemilih, khususnya di kalangan usia muda.
“Di beberapa hasil survei, muncul data tentang undecided voters. Di Indonesia kelompok ini cukup besar, sehingga banyak politisi maupun kandidat berusaha menarik perhatian mereka,” ungkap Jokhanan, Rabu (13/12/2023).
Menurut Jokhanan, ada beberapa tahap yang bisa dilakukan tim pemenangan untuk menarik perhatian undecided voters, terutama di kalangan usia muda.
Pertama adalah melakukan model kampanye digital kreatif. “Anak-anak muda cenderung aktif di media sosial. Oleh karena itu, tim pemenangan perlu menggunakan kampanye digital yang kreatif, seperti video pendek, meme, dan konten yang menarik untuk membangun kehadiran yang kuat di platform-platform ini,” jelasnya.
Kedua, kata Jokhanan, berangkat dari frame of reference audience. Komunikasi terbaik adalah komunikasi yang berangkat dari frame of reference audience, yakni kerangka acuan yang berisi pengalaman, harapan, nilai, status sosial dan ekonomi, hingga preferensi politik dari kelompok yang hendak dibidik.
“Ketiga, libatkan undecided voters secara langsung. Tim pemenangan dapat menggunakan alat-alat partisipasi interaktif untuk melibatkan undecided voters secara langsung. Survei online, kuis politik, atau sesi tanya jawab langsung di media sosial dapat membantu memahami kekhawatiran dan prioritas mereka,” jelas dosen yang juga tercatat sebagai Ketua Stikosa AWS ini.
Tahap berikutnya adalah melakukan identifikasi isu-isu yang relevan dan signifikan. Tim pemenangan, lanjut Jokhanan, perlu mengidentifikasi isu-isu yang relevan dan signifikan bagi kelompok usia muda. Diskusikan kebijakan atau rencana yang secara khusus memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka, seperti pendidikan, pekerjaan, lingkungan, dan kesejahteraan.
“Tim pemenangan perlu membangun kepercayaan dengan menunjukkan transparansi dan keterbukaan dalam platform dan visi politik. Sediakan informasi dengan cara yang mudah diakses dan jelas untuk membantu mereka membuat keputusan informasi,” tegasnya.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah berkolaborasi dengan influencer. Dengan merangkul tokoh terkenal di kalangan usia muda, politisi berpeluang untuk meraih dukungan karena mereka dapat membantu menyebar pesan dengan cara yang lebih autentik dan mudah diterima oleh target audiens.
Selain itu, Jokhanan juga menyarankan agar debat capres lebih difokuskan pada isu-isu yang relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, terutama di kalangan usia muda.
“Debat capres sebetulnya bisa membuat para kandidat berinteraksi langsung dengan pemilih. Ini dapat memberikan kesempatan bagi pemilih untuk mendengar langsung pandangan dan pemikiran kandidat. Tapi dengan model debat yang digelar KPU, proses debat lebih mirip ajang pertarungan yang kontra produktif,” kata Jokhanan.
Jokhanan juga menambahkan, storytelling yang kuat dapat menjadi jurus lain yang bisa digunakan tim pemenangan untuk menarik perhatian undecided voters.
“Cerita tentang perjalanan, pengalaman di lapangan, bagaimana merespons masalah-masalah kritis dapat membantu membangun kedekatan emosional dengan pemilih, dan masih banyak lagi,” kata Jokhanan.
Storytelling yang baik akan membawa pesan edukasi bagi pemilih dengan sangat baik. “Ingat, undecided voters mungkin membutuhkan pemahaman lebih dalam tentang sistem politik untuk membuat keputusan,” tutupnya. (hdl)