Jakarta (pilar.id) – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Novie Riyanto Rahardjo, untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap terhadap pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kemenhub.
“Hari ini bertempat di Gedung Merah Putih KPK, tim penyidik menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan saksi Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Novie Riyanto Rahardjo,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat (1/12/2023).
Beberapa pejabat Kemenhub lainnya juga dipanggil sebagai saksi, termasuk Sekjen Kemenhub 2018-2022 Djoko Sasono dan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Mohamad Risal Wasal.
KPK juga memanggil beberapa pihak lain seperti PNS Fungsional Subkoordinator Pembina Jasa Konstruksi Ahli Muda Kementerian Perhubungan, Sekretaris Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Prasarana Dimas Reska Putra, ASN pada Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Bandung merangkap PPK pada Satker Pengembangan Perkeretaapian wilayah Jawabarat Kiaracondong – Cicalengka Hastoro Pamulung Sumbowo, dan Kabag Program Biro Perencanaan Setjen Kemenhub Dwi Utami Christianti.
Ali belum memberikan keterangan apakah para saksi yang dipanggil telah memberikan keterangan kepada penyidik. Para saksi diminta memberikan keterangan terkait perkara yang menjerat tersangka Asta Danika (AD), Direktur PT Bhakti Karya Utama, yang saat ini ditahan oleh KPK.
AD merupakan rekanan swasta yang sebelumnya terlibat dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Kemenhub. Ia diduga memberikan suap kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Balai Teknik Perkeretaapian Jawa Barat, Syntho Pirjani Hutabarat (SPH).
SPH, yang juga merupakan salah satu dari 10 tersangka dalam kasus dugaan korupsi di DJKA, diduga mengondisikan dan memplotting calon pemenang lelang proyek dengan arahan dari Direktur Prasarana DJKA Harno Trimadi.
Dalam kesepakatan antara AD dan SPH, disebutkan adanya pemberian uang suap yang dilakukan melalui transfer antar rekening bank, dengan jumlah sekitar Rp935 juta. AD dijerat dengan Pasal 5 atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (ang/hdl)