Jakarta (pilar.id) – Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyerahkan hasil petisi online via change.org ihwal lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Petisi yang dimulai sejak Februari 2022 itu sudah terkumpul sekitar 14 ribu respons.
Ketua YLKI Tulus Abadi menyatakan, petisi ibarat vaksin booster. Vaksin booster untuk mendorong KPPU membongkar adanya dugaan kartel dalam kasus lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng. Ia yakin, KPPU sudah mengendus adanya dugaan kartel tersebut.
“Mudah-mudahan KPPU terus menindaklanjuti petisi ini dengan bukti-bukti dipunyai dan menghasilkan satu keputusan yang adil dan berpihak kepada masyarakat luas,” kata Tulus dalam konferensi pers yang disaksikan pada YouTube Sahabat ICW, Selasa (26/4/2022).
Ia berharap, pada akhirnya struktur pasar minyak goreng dan crude palm oil (CPO) di Indonesia akan lebih sehat dan menghasilkan harga yang adil bagi kepentingan konsumen dan industri CPO secara keseluruhan.
Kata dia, masalah minyak goreng adalah masalah kebutuhan pangan mendasar bagi konsumen, sehingga YLKI mendorong agar ketersediaan dan harga minyak goreng yang murah salah dipenuhi oleh pemerintah.
“Kami melakukan petisi ini untuk mendorong treatment yang dilakukan pemerintah karena tidak cukup hanya mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET), DMO, dan sebagainya. Tapi harus masuk ke dalam struktur pasar. Struktur itulah kompetensi dari KPPU,” kata dia.
Dia mengungkapkan, niatan awal menggalang petisi masyarakat karena mendengar jeritan masyarakat atau emak-emak imbas harga minyak goreng yang melambung sejak akhir 2021.
Ia melihat data KPPU, bahwa lonjakan dan kelangkaan minyak goreng diduga disebabkan oleh adanya kartel atau bentuk persaingan tidak sehat lainnya. Persaingan usaha yang tidak sehat ujungnya akan merugikan konsumen. Salah satu bentuk persaingan tidak sehat adanya dugaan kartel, monopoli, dan seterusnya.
YLKI menduga, dugaan kartel ini terdapat persekongkolan antarpelaku usaha minyak goreng untuk menentukan harga bersama. Dengan begitu, harga minyak goreng di pasar sama semua.
Ketika pemerintah belum menetapkan HET minyak goreng, harga minyak goreng membumbung tinggi dan barangnya ada. Tetapi ketika pemerintah menetapkan HET minyak goreng, maka barang tidak tersedia sekalipun harganya murah. Itu yang menyebabkan YLKI menyimpulkan adanya dugaan kartel dan akhirnya membuat petisi.
“KPPU belum dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan terkait minyak goreng. Ini anomali kenapa Menteri Perdagangan tidak mau bicara dalam ruang atau isu soal persaingan usaha. Kebijakan DMO dan HET tidak efektif kalau faktor hulunya tidak dibongkar dan faktor hukum itu adalah adanya dugaan persaingan tidak sehat,” papar Tulus. (her/hdl)