Jakarta (pilar.id) – Wakil ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan, payung hukum kampus merdeka belum jelas. Karenanya, ia mendorong evaluasi kebijakan tersebut.
“Dalam undang-undang tidak dicantumkan kampus merdeka,” kata Dede, di Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Menurut Dede, karena tidak ada payung hukum yang jelas, maka tak ada paksaan bagi sekolah untuk menjalankan kurikulum tertentu, termasuk kurikulum merdeka. Kebijakan kurikulum sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi sekolah.
“Kalau dirasa tidak mampu dengan kurikulum yang baru, bisa menjalankan kurikulum yang lama,” tegas Dede.
Dia mengingatkan, kurikulum apa pun, output-nya tidak bisa langsung dilihat dalam waktu 1-2 tahun, tetapi minimal 10 tahun. Jika di lapangan ditemukan banyak kesulitan, Dede berjanji pihaknya akan mendorong untuk mengevaluasi kebijakan tersebut, termasuk kurikulum merdeka.
Politikus Partai Demokrat itu mengaku banyak menerima masukan dari sekolah dan kampus yang mengalami kesulitan dalam menjalankan kurikulum merdeka belajar kampus merdeka. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Jawa Timur menjadi pelaksana implementasi kurikulum merdeka terbanyak se-Indonesia dengan rincian 1.047 (SMA), 1.474 (SMK), dan 233 (SLB).
Dede menambahkan, untuk sekolah penggerak dan guru penggerak idenya cukup baik, walaupun masih butuh peraturan turunannya. Aturan tersebut bisa berupa peraturan pemerintah (PP) dan Perpres atau Permendikbud. (ach/hdl)